Jumat, 07 Oktober 2011

PENDIDIKAN KARAKTER: Penting, Tapi Tidak Cukup!

PENDIDIKAN KARAKTER: Penting, Tapi Tidak Cukup!
Megawangi, Semua Berakar Pada Karakter “Oleh sebab wujudmu belum masak,Kau menjadi hina-terlempar Oleh sebab tubuhmu lunak, Kau pun dibakar orang, Jauhilah ketakutan, duka dan musuh hati, Jadilah kuat seperti batu, jadilah intan.”

*****
Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Pendidikan Nasional sudah mencanangkan penerapan pendidikan karakter untuk semua tingkat pendidikan, dari SD sampai Perguruan Tinggi. Menurut Mendiknas, Prof. Muhammad Nuh, pembentukan karakter perlu
dilakukan sejak usia dini. Jika karakter sudah terbentuk sejak usia dini, kata Mendiknas, maka tidak akan mudah untuk mengubah karakter seseorang. Ia juga berharap, pendidikan karakter dapat membangun kepribadian bangsa. Mendiknas mengungkapkan hal ini saat berbicara pada pertemuan Pimpinan Pascasarjana LPTK Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) se-Indonesia di Auditorium Universitas Negeri Medan (Unimed),

Munculnya gagasan program pendidikan karakter di Indonesia, bisa dimaklumi.
Sebab, selama ini dirasakan, proses pendidikan dirasakan belum berhasil membangun
manusia Indonesia yang berkarakter. Bahkan, banyak yang menyebut, pendidikan telah gagal, karena banyak lulusan sekolah atau sarjana yang piawai dalam menjawab soal ujian, berotak cerdas, tetapi mental dan moralnya lemah.
Banyak pakar bidang moral dan agama yang sehari-hari mengajar tentang kebaikan,
tetapi perilakunya tidak sejalan dengan ilmu yang diajarkannya. Sejak kecil, anak-anak diajarkan menghafal tentang bagusnya sikap jujur, berani, kerja keras, kebersihan, dan jahatnya kecurangan. Tapi, nilai-nilai kebaikan itu diajarkan dan diujikan sebatas pengetahuan di atas kertas dan dihafal sebagai bahan yang wajib dipelajari, karena diduga akan keluar dalam kertas soal ujian. Pendidikan karakter bukanlah sebuah proses menghafal materi soal ujian, dan teknikteknik menjawabnya. Pendidikan karakter memerlukan pembiasaan. Pembiasaan untuk berbuat baik; pembiasaan untuk berlaku jujur, ksatria; malu berbuat curang; malu bersikap malas; malu membiarkan lingkungannya kotor. Karakter tidak terbentuk secara instan, tapi harus dilatih secara serius dan proporsional agar mencapai bentuk dan kekuatan yang ideal.
Di sinilah bisa kita pahami, mengapa ada kesenjangan antara praktik pendidikan
dengan karakter peserta didik. Bisa dikatakan, dunia Pendidikan di Indonesia kini sedang memasuki masa-masa yang sangat pelik. Kucuran anggaran pendidikan yang sangat besar disertai berbagai program terobosan sepertinya belum mampu memecahkan persoalan
mendasar dalam dunia pendidikan, yakni bagaimana mencetak alumni pendidikan yang
unggul, yang beriman, bertaqwa, profesional, dan berkarakter, sebagaimana tujuan pendidikan dalam UU Sistem Pendidikan Nasional.
Dalam bukunya yang berjudul, Pribadi (Jakarta: Bulan Bintang, 1982, cet.ke-10),
Prof. Hamka memberikan gambaran tentang sosok manusia yang pandai tapi tidak memiliki
pribadi yang unggul: ”Banyak guru, dokter, hakim, insinyur, banyak orang yang bukunya satu gudang dan diplomanya segulung besar, tiba dalam masyarakat menjadi ”mati”, sebab dia bukan orang masyarakat. Hidupnya hanya mementingkan dirinya, diplomanya hanya untuk mencari harta, hatinya sudah seperti batu, tidak mampunyai cita-cita, lain dari pada
kesenangan dirinya. Pribadinya tidak kuat. Dia bergerak bukan karena dorongan jiwa
dan akal. Kepandaiannya yang banyak itu kerap kali menimbulkan takutnya. Bukan
menimbulkan keberaniannya memasuki lapangan hidup.” Budayawan Mochtar Lubis, bahkan pernah memberikan deskripsi karakter bangsa Indonesia yang sangat negatif. Dalam ceramahnya di Taman Ismail Marzuki, 6 April 1977, Mochtar Lubis mendeskripsikan ciri-ciri umum manusia Indonesia sebagai berikut: munafik, enggan bertanggung jawab, berjiwa feodal, masih percaya takhayul, lemah karakter,cenderung boros, suka jalan pintas, dan sebagainya. Lebih jauh, Mochtar Lubis mendeskripsikan ciri-ciri utama manusia Indonesia:
1. “Salah satu ciri manusia Indonesia yang cukup menonjol ialah HIPOKRITIS alias
MUNAFIK. Berpura-pura, lain di muka, lain di belakang, merupakan sebuah ciri
utama manusia Indonesia sudah sejak lama, sejak mereka dipaksa oleh kekuatankekuatan
dari luar untuk menyembunyikan apa yang sebenarnya dirasakannya atau
dipikirkannya atau pun yang sebenarnya dikehendakinya, karena takut akan mendapat
ganjaran yang membawa bencana bagi dirinya.” .
2. “Ciri kedua utama manusia Indonesia masa kini adalah segan dan enggan bertanggung jawab atas perbuatannya, putusannya, kelakukannya, pikirannya, dan sebagainya. “Bukan saya” adalah kalimat yang cukup populer pula di mulut manusia Indonesia.”
3. “Ciri ketiga utama manusia Indonesia adalah jiwa feodalnya. Meskipun salah satu
tujuan revolusi kemerdekaan Indonesia ialah juga untuk membebaskan manusia
Indonesia dari feodalisme, tetapi feodalisme dalam bentuk-bentuk baru makin
berkembang dalam diri dan masyarakat manusia Indonesia.”
4. “Ciri keempat utama manusia Indonesia adalah manusia Indonesia masih percaya
takhayul. Dulu, dan sekarang juga, masih ada yang demikian, manusia Indonesia
percaya bahwa batu, gunung, pantai, sungai, danau, karang, pohon, patung, bangunan,
keris, pisau, pedang, itu punya kekuatan gaib, keramat, dan manusia harus mengatur
hubungan khusus dengan ini semua…” “Kemudian, kita membuat mantera dan semboyan baru, jimat-jimat baru, Tritura, Ampera, orde baru, the rule of law, pemberantasan korupsi, kemakmuran yang merata dan adil, insan pembangunan. Manusia Indonesia sangat mudah cenderung percaya pada menara dan semboyan dan lambang yang dibuatnya sendiri.”
5. “Ciri keenam manusia Indonesia punya watak yang lemah. Karakter kurang kuat. Manusia Indonesia kurang kuat mempertahankan atau memperjuangkan keyakinannya. Dia mudah, apalagi jika dipaksa, dan demi untuk “survive” bersedia mengubah keyakinannya. Makanya kita dapat melihat gejala pelacuran intelektual amat mudah terjadi dengan manusia Indonesia.”
6. “Dia cenderung boros. Dia senang berpakaian bagus, memakai perhiasan, berpestapesta.
Hari ini ciri manusia Indonesia ini menjelma dalam membangun rumah mewah, mobil mewah, pesta besar, hanya memakai barang buatan luar negeri, main golf, singkatnya segala apa yang serba mahal.” “Dia lebih suka tidak bekerja keras, kecuali kalau terpaksa… atau dengan mudah mendapat gelar sarjana, sampai memalsukan atau membeli gelar sarjana, supaya segera dapat pangkat, dan dari kedudukan berpangkat cepat bisa menjadi kaya. Jadi
priyayi, jadi pegawai negeri adalah idaman utama, karena pangkat demikian
merupakan lambang status yang tertinggi.” (Mochtar Lubis, Manusia Indonesia,
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001). Tentu, silakan tidak bersetuju dengan pendapat Mochtar Lubis!

*****
Banyak pendidik percaya, karakter suatu bangsa terkait dengan prestasi yang diraih
oleh bangsa itu dalam berbagai bidang kehidupan. Dr. Ratna Megawangi, dalam bukunya,
Semua Berakar Pada Karakter (Jakarta: Lembaga Penerbit FE-UI, 2007), mencontohkan,
bagaimana kesuksesan Cina dalam menerapkan pendidikan karakter sejak awal tahun 1980-
an. Menurutnya, pendidikan karakter adalah untuk mengukir akhlak melalui proses knowing the good, loving the good, and acting the good. Yakni, suatu proses pendidikan yang melibatkan aspek kognitif, emosi, dan fisik, sehingga akhlak mulia bisa terukir menjadi habit of the mind, heart, and hands. Dr. Ratna Megawangi termasuk salah cendekiawan yang sangat gencar mempromosikan pendidikan karakter, melalui berbagai aktivitas dan tulisannya. Pendidikan karakter by definition adalah pendidikan untuk membentuk kepribadian seseorang melalui pendidikan budi pekerti, yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata seseorang, yaitu tingkah laku yang baik, jujur bertanggung jawab, menghormati hak orang lain, kerja keras, dan sebagainya (Thomas Lickona, 1991). Aristoteles, kabarnya, juga berpendapat bahwa karakter itu erat kaitannya dengan kebiasaan yang kerap dimanifestasikan dalam tingkah laku. Russel Williams, seperti dikutip Ratna, menggambarkan karakter laksana “otot”, yang akan menjadi lembek jika tidak dilatih. Dengan latihan demi latihan, maka “otot-otot” karakter akan menjadi kuat dan akan mewujud menjadi kebiasaan (habit). Orang yang berkarakter tidak melaksanakan suatu aktivitas karena takut akan hukuman, tetapi karena mencintai kebaikan (loving the good). Karena cinta itulah, maka muncul keinginan untuk berbuat baik (desiring the good).
Pemimpin Cina, Deng Xiaoping, pad atahun 1985 sudah mencangkan pentingnya
pendidikan karakter: Throughout the reform of the education system, it is imperative to bear in mind that reform is for the fundamental purpose of turning every citizen into a man or woman of character and cultivating more constructive members of society. Li Lanqing, mantan wakil PM Cina, dalam bukunya, Educations for 1.3 Billion, menjelaskan reformasi pendidikan yang dijalankan di Cina. Ia menulis: After many years of practice, character education has become the consensus of educators and people from all walks of life across this nation. It is being advanced in a comprehensive way.” Menurut Ratna Megawangi, pendidikan karakter memerlukan keterlibatan semua aspek dimensi manusia, sehingga tidak sesuai dengan sistem pendidikan yang terlalu menekankan pada aspek hafalan dan orientasi untuk lulus ujian. Dalam bukunya, Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, (2010), Doni Koesoema Albertus menulis, bahwa pendidikan karakter bertujuan membentuk setiap pribadi menjadi insan yang berkeutamaan. Dalam pendidikan karakter, yang terutama dinilai adalah perilaku, bukan pemahamannya. Doni membedakan pendidikan karakter dengan pendidikan moral atau pendidikan agama. Pendidikan agama dan kesadaran akan nilai-nilai religius menjadi motivator utama keberhasilan pendidikan karakter.
Tetapi, Doni yang meraih sarjana teologi di Universitas Gregoriana Roma Italia,
agama tidak dapat dipakai sebagai pedoman pengatur dalam kehidupan bersama dalam
sebuah masyarakat yang plural. ”Di zaman modern yang sangat multikultural ini, nilai-nilai agama tetap penting dipertahankan, namun tidak dapat dipakai sebagai dasar kokoh bagi kehidupan bersama dalam masyarakat. Jika nilai agama ini tetap dipaksakan dalam konteks masyarakat yang plural, yang terjadi adalah penindasan oleh kultur yang kuat pada mereka yang lemah,” tulisnya. Oleh karena itu, simpul Doni K. Albertus, meskipun pendidikan agama penting dalam membantu mengembangkan karakter individu, ia bukanlah fondasi yang efektif bagi suatu tata sosial yang stabil dalam masyarakat majemuk. Dalam konteks ini, nilai-nilai moral akan bersifat lebih operasional dibandingkan dengan nilai-nilai agama. Namun demikian, nilai-nilai moral, meskipun bisa menjadi dasar pembentuk perilaku, tidak lepas dari proses hermeneutis yang bersifat dinamis dan dialogis. Dalam pandangan Islam, pandangan sekularistik Doni K. Albertus semacam itu, tentu tidak dapat diterima. Sebab, bagi Muslim, nilai-nilai Islam diyakini sebagai pembentuk karakter dan sekaligus bisa menjadi dasar nilai bagi masyarakat majemuk. Masyarakat Madinah yang dipimpin Nabi Muhamamd saw, berdasarkan kepada nilai-nilai Islam, baik bagi pribadi Muslim maupun bagi masyarakat plural. Memang ada pengalaman sejarah keagamaan yang berbeda antara Katolik dengan Islam. Namun, dalam soal pendidikan karakter bagi anak didik, berbagai agama bisa
bertemu. Islam dan Kristen dan berbagai agama lain bisa bertemu dalam penghormatan
terhadap nilai-nilai keutamaan. Nilai kejujuran, kerja keras, sikap ksatria, tanggung jawab, semangat pengorbanan, dan komitmen pembelaan terhadap kaum lemah dan tertindas, bisa diakui sebagai nilai-nilai universal yang mulia. Bisa jadi, masing-masing pemeluk agama mendasarkan pendidikan karakter pada nilai agamanya masing-masing. Terlepas dari perdebatan konsep-konsep pendidikan karakter, bangsa Indonesia memang memerlukan model pendidikan semacam ini. Sejumlah negara sudah mencobanya. Indonesia bukan tidak pernah mencoba menerapkan pendidikan semacam ini. Tetapi, pengalaman menunjukkan, berbagai program pendidikan dan pengajaran – seperti pelajaran Budi Pekerti, Pendidikan Pancasila dan Kewargaan Negara (PPKN), Pendidikan Moral Pancasila (PMP), Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), – belum mencapai hasil optimal, karena pemaksaan konsep yang sekularistik dan kurang seriusnya aspek pengalaman. Dan lebih penting, tidak ada contoh dalam program itu! Padahal, program pendidikan karakter, sangat memerlukan contoh dan keteladanan. Kalau hanya slogan dan ’omongan’, orang Indonesia dikenal jagonya! Harap maklum, konon, orang Indonesia dikenal piawai dalam menyiasati kebijakan dan peraturan. Ide UAN, mungkin bagus! Tapi, di lapangan, banyak yang bisa menyiasati bagaimana siswanya lulus semua. Sebab, itu tuntutan pejabat dan orang tua. Guru tidak berdaya. Kebijakan sertifikasi guru, bagus! Tapi, karena mental materialis dan malas sudah bercokol, kebijakan itu memunculkan tradisi berburu sertifikat, bukan berburu ilmu! Bukan tidak mungkin, gagasan Pendidikan Karakter ini nantinya juga menyuburkan bangku-bangku seminar demi meraih sertifikat pendidikan karakter, untuk meraih posisi dan jabatan tertentu.

*****
Mohammad Natsir, salah satu Pahlawan Nasional, tampaknya percaya betul dengan
ungkapan Dr. G.J. Nieuwenhuis: ”Suatu bangsa tidak akan maju, sebelum ada di antara
bangsa itu segolongan guru yang suka berkorban untuk keperluan bangsanya.”
Menurut rumus ini, dua kata kunci kemajuan bangsa adalah “guru” dan
“pengorbanan”. Maka, awal kebangkitan bangsa harus dimulai dengan mencetak “guru-guru
yang suka berkorban”. Guru yang dimaksud Natsir bukan sekedar “guru pengajar dalam kelas formal”. Guru adalah para pemimpin, orang tua, dan juga pendidik. Guru adalah teladan. “Guru” adalah “digugu” (didengar) dan “ditiru” (dicontoh). Guru bukan sekedar terampil mengajar bagaimana menjawab soal Ujian Nasional, tetapi diri dan hidupnya harus menjadi contoh bagi murid-muridnya. Mohammad Natsir adalah contoh guru sejati, meski tidak pernah mengenyam pendidikan di fakultas keguruan dan pendidikan. Hidupnya dipenuhi dengan idealisme tinggi memajukan dunia pendidikan dan bangsanya. Setamat AMS (Algemene Middelbare School) di Bandung, dia memilih terjun langsung ke dalam perjuangan dan pendidikan. Ia dirikan Pendis (Pendidikan Islam) di Bandung. Di sini, Natsir memimpin, mengajar, mencari guru dan dana. Terkadang, ia keliling ke sejumlah kota mencari dana untuk keberlangsungan pendidikannya. Kadangkala, perhiasan istrinya pun digadaikan untuk menutup uang kontrak tempat sekolahnya. Disamping itu, Natsir juga melakukan terobosan dengan memberikan pelajaran agama kepada murid-murid HIS, MULO, dan Kweekschool (Sekolah Guru). Ia mulai mengajar agama dalam bahasa Belanda. Kumpulan naskah pengajarannya kemudian dibukukan atas permintaan Sukarno saat dibuang ke Endeh, dan diberi judul Komt tot Gebeid (Marilah Shalat). Kisah Natsir dan sederet guru bangsa lain sangat penting untuk diajarkan di sekolahsekolah dengan tepat dan benar. Natsir adalah contoh guru yang berkarakter dan bekerja keras untuk kemajuan bangsanya. Ia adalah orang yang sangat haus ilmu. Cita-citanya bukan untuk meraih ilmu kemudian untuk mengeruk keuntungan materi dengan ilmunya. Tapi, dia sangat haus ilmu, lalu mengamalkannya demi kemajuan masyarakatnya. Pada 17 Agustus 1951, hanya 6 tahun setelah kemerdekaan RI, M. Natsir melalui sebuah artikelnya yang berjudul “Jangan Berhenti Tangan Mendayung, Nanti Arus Membawa Hanyut”, Natsir mengingatkan bahaya besar yang dihadapi bangsa Indonesia, yaitu mulai memudarnya semangat pengorbanan. Melalui artikelnya ini, Natsir menggambarkan betapa jauhnya kondisi manusia Indonesia pasca kemerdekaan dengan prakemerdekaan. Sebelum kemerdekaan, kata Natsir, bangsa Indonesia sangat mencintai pengorbanan. Hanya enam tahun sesudah kemerdekaan, segalanya mulai berubah. Natsir menulis: “Dahulu, mereka girang gembira, sekalipun hartanya habis, rumahnya terbakar, dan anaknya tewas di medan pertempuran, kini mereka muram dan kecewa sekalipun telah hidup dalam satu negara yang merdeka, yang mereka inginkan dan cita-citakan sejak berpuluh dan beratus tahun yang lampau… Semua orang menghitung pengorbanannya, dan minta dihargai…Sekarang timbul penyakit bakhil. Bakhil keringat, bakhil waktu dan merajalela sifat serakah… Tak ada semangat dan keinginan untuk memperbaikinya. Orang sudah mencari untuk dirinya sendiri, bukan mencari cita-cita yang diluar dirinya... ”Peringatan Natsir hampir 60 tahun lalu itu perlu dicermati oleh para elite bangsa, khususnya para pejabat dan para pendidik. Jika ingin bangsa Indonesia menjadi bangsa besar yang disegani di dunia, wujudkanlah guru-guru yang mencintai pengorbanan dan bisa menjadi teladan bagi bangsanya. Beberapa tahun menjelang wafatnya, Natsir juga menitipkan pesan kepada sejumlah cendekiawan yang mewawancarainya, ”Salah satu penyakit bangsa Indonesia, termasuk umat Islamnya, adalah berlebih-lebihan dalam mencintai dunia.” Lebih jauh, kata Natsir:
”Di negara kita, penyakit cinta dunia yang berlebihan itu merupakan gejala yang
”baru”, tidak kita jumpai pada masa revolusi, dan bahkan pada masa Orde Lama
(kecuali pada sebagian kecil elite masyarakat). Tetapi, gejala yang ”baru” ini, akhirakhir ini terasa amat pesat perkembangannya, sehingga sudah menjadi wabah dalam
masyarakat. Jika gejala ini dibiarkan berkembang terus, maka bukan saja umat Islam
akan dapat mengalami kejadian yang menimpa Islam di Spanyol, tetapi bagi bangsa
kita pada umumnya akan menghadapi persoalan sosial yang cukup serius.”

*****
Seorang dosen fakultas kedokteran pernah menyampaikan keprihatinan kepada saya.
Berdasarkan survei, separoh lebih mahasiswa kedokteran di kampusnya mengaku, masuk
fakultas kedokteran untuk mengejar materi. Menjadi dokter adalah baik. Menjadi ekonom,ahli teknik, dan berbagai profesi lain, memang baik. Tetapi, jika tujuannya adalah untuk mengeruk kekayaan, maka dia akan melihat biaya kuliah yang dia keluarkan sebagai investasi yang harus kembali jika dia lulus kuliah. Ia kuliah bukan karena mencintai ilmu dan pekerjaannya, tetapi karena berburu uang! Kini, sebagaimana dikatakan Natsir, yang dibutuhkan bangsa ini adalah “guru-guru sejati” yang cinta berkorban untuk bangsanya. Bagaimana murid akan berkarakter; jika setiap hari dia melihat pejabat mengumbar kata-kata, tanpa amal nyata. Bagaimana anak didik akan mencintai gurunya, sedangkan mata kepala mereka menonton guru dan sekolahnya materialis, mengeruk keuntungan sebesar-besarnya melalui lembaga pendidikan. Pendidikan karakter adalah perkara besar. Ini masalah bangsa yang sangat serius. Bukan urusan Kementerian Pendidikan semata. Presiden, menteri, anggota DPR, dan para pejabat lainnya harus memberi teladan. Jangan minta rakyat hidup sederhana, hemat BBM, tapi rakyat dan anak didik dengan jelas melihat, para pejabat sama sekali tidak hidup sederhana dan mobil-mobil mereka – yang dibiayai oleh rakyat – adalah mobil impor dan sama sekali tidak hemat. Pada skala mikro, pendidikan karakter ini harus dimulai dari sekolah, pesantren, rumah tangga, juga Kantor Kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama. Dari atas sampai ke bawah, dan sebaliknya. Sebab, guru, murid, dan juga rakyat sudah terlalu sering melihat berbagai paradoks. Banyak pejabat dan tokoh agama bicara tentang taqwa; berkhutbah bahwa yang paling mulia diantara kamu adalah yang taqwa. Tapi, faktanya, saat menikahkan anaknya, yang diberi hak istimewa dan dipandang mulia adalah pejabat dan yang berharta. Rakyat kecil dan orang biasa dibiarkan berdiri berjam-jam mengantri untuk bersalaman. Kalau para tokoh agama, dosen, guru, pejabat, lebih mencintai dunia dan jabatan, ketimbang ilmu, serta tidak sejalan antara kata dan perbuatan, maka percayalah, Pendidikan Karakter yang diprogramkan Kementerian Pendidikan hanya akan berujung slogan!

*****
Tidak cukup!
Jika bangsa Cina maju sebagai hasil pendidikan karakter, lalu apa bedanya orang
komunis yang berkarakter dengan orang muslim yang berkarakter? Orang komunis, atau
ateis, bisa saja menjadi pribadi yang jujur, pekerja keras, berani, bertanggung jawab,mencintai kebersihan, dan sebagainya. Orang muslim juga bisa seperti itu. Dimana letak bedanya? Bedanya pada konsep adab. Yang diperlukan oleh kaum Muslim Indonesia bukan hanya menjadi seorang yang berkarakter, tetapi harus menjadi seorang yang berkarakter dan beradab. Pendiri Nahdlatul Ulama, KH Hasyim Asy’ari, misalnya, dalam kitabnya, Ādabul Ālim wal-Muta’allim, mengutip pendapat Imam al-Syafi’i yang menjelaskan begitu pentingnya kedudukan adab dalam Islam. Bahkan, Sang Imam menyatakan, beliau mengejar adab laksana seorang ibu yang mengejar anak satu-satunya yang hilang. Lalu, Syaikh Hasyim Asy’ari mengutip pendapat sebagian ulama: ”at-Tawhīdu yūjibul īmāna, faman lā īmāna lahū lā tawhīda lahū; wal-īmānu yūjibu al-syarī’ata, faman lā
syarī’ata lahū, lā īmāna lahū wa lā tawhīda lahū; wa al-syarī’atu yūjibu al-adaba, faman lā ādaba lahū, lā syarī’ata lahū wa lā īmāna lahū wa lā tawhīda lahū.” (Hasyim Asy’ari,Ādabul Ālim wal-Muta’allim, Jombang: Maktabah Turats Islamiy, 1415 H). hal. 11).
Jadi, secara umum, menurut Kyai Hasyim Asy’ari, Tauhid mewajibkan wujudnya
iman. Barangsiapa tidak beriman, maka dia tidak bertauhid; dan iman mewajibkan syariat,maka barangsiapa yang tidak ada syariat padanya, maka dia tidak memiliki iman dan tidak bertauhid; dan syariat mewajibkan adanya adab; maka barangsiapa yang tidak beradab maka (pada hakekatnya) tiada syariat, tiada iman, dan tiada tauhid padanya. Jadi, betapa pentingnya kedudukan adab dalam ajaran Islam. Lalu, apa sebenarnya konsep adab? Uraian yang lebih rinci tentang konsep adab dalam Islam disampaikan oleh Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, pakar filsafat dan sejarah Melayu. Menurut Prof.
Naquib al-Attas, adab adalah “pengenalan serta pengakuan akan hak keadaan sesuatu dan
kedudukan seseorang, dalam rencana susunan berperingkat martabat dan darjat, yang
merupakan suatu hakikat yang berlaku dalam tabiat semesta.” Pengenalan adalah ilmu;
pengakuan adalah amal. Maka, pengenalan tanpa pengakuan seperti ilmu tanpa amal; dan
pengakuan tanpa pengenalan seperti amal tanpa ilmu. ”Keduanya sia-sia kerana yang satu mensifatkan keingkaran dan keangkuhan, dan yang satu lagi mensifatkan ketiadasedaran dan kejahilan,” demikian Prof. Naquib al-Attas. (SM Naquib al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, (ISTAC, 2001).
Begitu pentingnya masalah adab ini, maka bisa dikatakan, jatuh-bangunnya umat Islam, tergantung sejauh mana mereka dapat memahami dan menerapkan konsep adab ini dalam kehidupan mereka. Manusia yang beradab terhadap orang lain akan paham bagaimana mengenali dan mengakui seseorang sesuai harkat dan martabatnya. Martabat ulama yang
shalih beda dengan martabat orang fasik yang durhaka kepada Allah. Jika al-Quran
menyebutkan, bahwa manusia yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling taqwa (QS 49:13), maka seorang yang beradab tidak akan lebih menghormat kepada penguasa yang zalim ketimbang guru ngaji di kampung yang shalih. Dalam masyarakat yang beradab,seorang penghibur tidak akan lebih dihormati ketimbang pelajar yang memenangkan Olimpiade fisika. Seorang pelacur atau pezina ditempatkan pada tempatnya, yang seharusnya tidak lebih tinggi martabatnya dibandingkan muslimah-muslimah yang shalihah. Itulah adab kepada sesama manusia. Adab juga terkait dengan ketauhidan, sebab adab kepada Allah mengharuskan seorang manusia tidak menserikatkan Allah dengan yang lain. Tindakan menyamakan al-Khaliq dengan makhluk merupakan tindakan yang tidak beradab. Karena itulah, maka dalam al- Quran disebutkan, Allah murka karena Nabi Isa a.s. diangkat derajatnya dengan al-Khaliq, padahal dia adalah makhluk. Tauhid adalah konsep dasar bagi pembangunan manusia beradab. Menurut pandangan Islam, masyarakat beradab haruslah meletakkan al-Khaliq pada tempat-Nya sebagai al-Khaliq, jangan disamakan dengan makhluq. Itulah adab kepada Allah SWT. Nabi Muhammad saw adalah juga manusia. Tetapi,
beliau berbeda dengan manusia lainnya, karena beliau adalah utusan Allah. Sesama manusia saja tidak diperlakukan sama. Seorang presiden dihormati, diberi pengawalan khusus, diberikan gaji yang lebih tinggi dari gaji guru ngaji, dan sering disanjung-sanjung, meskipun kadangkala keliru. Orang berebut untuk menjadi Presiden karena dianggap jika menjadi Presiden akan menjadi orang terhormat atau memiliki kekuasaan besar sehingga dapat melakukan perubahan. Sebagai konsekuensi adab kepada Allah, maka adab kepada Rasul-Nya, tentu saja adalah dengan cara menghormati, mencintai, dan menjadikan Sang Nabi saw sebagai suri tauladan kehidupan (uswah hasanah). Setelah beradab kepada Nabi Muhammad saw, maka adab berikutnya adalah adab kepada ulama. Ulama adalah pewaris nabi. Maka,
kewajiban kaum Muslim adalah mengenai, siapa ulama yang benar-benar menjalankan
amanah risalah, dan siapa ulama ”palsu” atau ”ulama jahat (ulama su’). Ulama jahat harus dijauhi, sedangkan ulama yang baik harus dijadikan panutan dan dihormati sebagai ulama.
Mereka tidak lebih rendah martabatnya dibandingkan dengan para umara. Maka, sangatlah
keliru jika seorang ulama merasa lebih rendah martabatnya dibandingkan dengan penguasa.
Adab adalah kemampuan dan kemauan untuk mengenali segala sesuatu sesuai dengan
martabatnya. Ulama harusnya dihormati karena ilmunya dan ketaqwaannya, bukan karena
kepintaran bicara, kepandaian menghibur, dan banyaknya pengikut. Maka, manusia beradab dalam pandangan Islam adalah yang mampu mengenali siapa ulama pewaris nabi dan siapa ulama yang palsu sehingga dia bisa meletakkan ulama sejati pada tempatnya sebagai tempat rujukan. Syekh Wan Ahmad al Fathani dari Pattani, Thailand Selatan, (1856-1908), dalam
kitabnya Hadiqatul Azhar war Rayahin (Terj. Oleh Wan Shaghir Abdullah), berpesan agar
seseorang mempunyai adab, maka ia harus selalu dekat dengan majelis ilmu. Syekh Wan
Ahmad menyatakan : “Jadikan olehmu akan yang sekedudukan engkau itu (majelis)
perhimpunan ilmu yang engkau muthalaah akan dia. Supaya mengambil guna engkau
daripada segala adab dan hikmah.” Karena itulah, sudah sepatutnya dunia pendidikan kita sangat menekankan proses ta’dib, sebuah proses pendidikan yang mengarahkan para siswanya menjadi orang-orang yang beradab. Sebab, jika adab hilang pada diri seseorang, maka akan mengakibatkan kezaliman, kebodohan dan menuruti hawa nafsu yang merusak. Karena itu, adab mesti ditanamkan pada seluruh manusia dalam berbagai lapisan, pada murid, guru, pemimpin rumah tangga, pemimpin bisnis, pemimpin masyarakat dan lainnya.
Islam memandang kedudukan ilmu sangatlah penting, sebagai jalan mengenal Allah
dan beribadah kepada-Nya. Ilmu juga satu-satunya jalan meraih adab. Orang yang berilmu (ulama) adalah pewaris nabi. Karena itu, dalam Bidayatul Hidayah, Imam Al-Ghazali mengingatkan, orang yang mecari ilmu dengan niat yang salah, untuk mencari keuntungan duniawi dan pujian manusia, sama saja dengan menghancurkan agama. Dalam kitabnya, Adabul ‘Alim wal-Muta’allim, KH Hasyim Asy’ari juga mengutip hadits Rasulullah saw: “Barangsiapa mencari ilmu bukan karena Allah atau ia mengharapkan selain keridhaan Allah Ta’ala, maka bersiaplah dia mendapatkan tempat di neraka.”
Ibnul Qayyim al-Jauziyah, murid terkemuka Syaikhul Islam Ibn Taimiyah, juga
menulis sebuah buku berjudul Al-Ilmu. Beliau mengutip ungkapan Abu Darda’ r.a. yang
menyatakan: “Barangsiapa berpendapat bahwa pergi menuntut ilmu bukan merupakan jihad,
sesungguhnya ia kurang akalnya.” Abu Hatim bin Hibban juga meriwayatkan hadits dari
Abu Hurairah r.a., yang pernah mendengar Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa masuk ke masjid ku ini untuk belajar kebaikan atau untuk mengajarkannya, maka ia laksana orang yang berjihad di jalan Allah.” Karena begitu mulianya kedudukan ilmu dalam Islam, maka seorang yang beradab tidak akan menyia-nyiakan umurnya untuk menjauhi ilmu, atau mengejar ilmu yang tidak bermanfaat, atau salah niat dalam meraih ilmu. Sebab, akibatnya sangat fatal. Ia tidak akan pernah mengenal Allah, tidak akan pernah meraih kebahagiaan sejati. Lebih fatal lagi, jika manusia yang tidak beradab itu kemudian merasa tahu, padahal dia sebenarnya ia tidak tahu. Dengan adab inilah, seorang Muslim dapat menempatkan karakter pada tempatnya? Kapan dia harus jujur, kapan dia boleh berbohong, untuk apa dia bekerja dan belajar keras? Dalam pandangan Islam, jika semua itu dilakukan untuk tujuan-tujuan pragmatis duniawi, maka tindakan itu termasuk kategori “tidak beradab”, alias biadab. Jadi, setiap Muslim harus berusaha menjalani pendidikan karakter, sekaligus menjadikan dirinya sebagai manusia beradab. Seharusnya, program mencetak manusia berkarakter dan beradab ini masuk dalam program resmi Pendidikan Nasional, sesuai dengan sila kedua Pancasila: Kemanusiaan yang adil dan beradab. Itulah hakekat dari tujuan pendidikan, menurut Islam, yakni mencetak manusia yang baik, sebagaimana dirumuskan oleh Prof. S.M.Naquib al-Attas dalam bukunya, Islam and Secularism: “The purpose for seeking knowledge in Islam is to inculcate goodness or justice in man as man and individual self. The aim of education in Islam is therefore to produce a goodman… the fundamental element inherent in the Islamic concept of education is the inculcation of adab…”“Orang baik” atau good man, tentunya adalah manusia yang berkarakter dan beradab. Tidak cukup seorang memiliki berbagai nilai keutamaan dalam dirinya, tetapi dia tidak ikhlas dalam mencari ilmu, enggan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, dan suka mengumbar aurat dan maksiat. Pendidikan, menurut Islam, haruslah bertujuan membangun karakter dan adab sekaligus! Moh. Iqbal dengan indah menggambarkan sosok pribadi Muslim yang tangguh karena ketundukannya kepada Allah: “Biarlah cinta membakar semua ragu dan syak wasangka, Hanyalah kepada yang Esa kau tunduk, agar kau menjadi singa.”

Jumat, 12 Agustus 2011

Sejarah Internet

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Internet merupakan jaringan komputer yang dibentuk oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat di tahun 1969, melalui proyek ARPA yang disebut ARPANET (Advanced Research Project Agency Network), di mana mereka mendemonstrasikan bagaimana dengan hardware dan software komputer yang berbasis UNIX, kita bisa melakukan komunikasi dalam jarak yang tidak terhingga melalui saluran telepon. Proyek ARPANET merancang bentuk jaringan, kehandalan, seberapa besar informasi dapat dipindahkan, dan akhirnya semua standar yang mereka tentukan menjadi cikal bakal pembangunan protokol baru yang sekarang dikenal sebagai TCP/IP (Transmission Control Protocol/Internet Protocol).
Tujuan awal dibangunnya proyek itu adalah untuk keperluan militer. Pada saat itu Departemen Pertahanan Amerika Serikat (US Department of Defense) membuat sistem jaringan komputer yang tersebar dengan menghubungkan komputer di daerah-daerah vital untuk mengatasi masalah bila terjadi serangan nuklir dan untuk menghindari terjadinya informasi terpusat, yang apabila terjadi perang dapat mudah dihancurkan.
Pada mulanya ARPANET hanya menghubungkan 4 situs saja yaitu Stanford Research Institute, University of California, Santa Barbara, University of Utah, di mana mereka membentuk satu jaringan terpadu di tahun 1969, dan secara umum ARPANET diperkenalkan pada bulan Oktober 1972. Tidak lama kemudian proyek ini berkembang pesat di seluruh daerah, dan semua universitas di negara tersebut ingin bergabung, sehingga membuat ARPANET kesulitan untuk mengaturnya.
Oleh sebab itu ARPANET dipecah manjadi dua, yaitu "MILNET" untuk keperluan militer dan "ARPANET" baru yang lebih kecil untuk keperluan non-militer seperti, universitas-universitas. Gabungan kedua jaringan akhirnya dikenal dengan nama DARPA Internet, yang kemudian disederhanakan menjadi Internet.
[sunting] Daftar kejadian penting
Tahun Kejadian
1957
Uni Soviet (sekarang Rusia) meluncurkan wahana luar angkasa, Sputnik.

1958
Sebagai buntut dari "kekalahan" Amerika Serikat dalam meluncurkan wahana luar angkasa, dibentuklah sebuah badan di dalam Departemen Pertahanan Amerika Serikat, Advanced Research Projects Agency (ARPA), yang bertujuan agar Amerika Serikat mampu meningkatkan ilmu pengetahuan dan teknologi negara tersebut. Salah satu sasarannya adalah teknologi komputer.

1962
J.C.R. Licklider menulis sebuah tulisan mengenai sebuah visi di mana komputer-komputer dapat saling dihubungkan antara satu dengan lainnya secara global agar setiap komputer tersebut mampu menawarkan akses terhadap program dan juga data. Di tahun ini juga RAND Corporation memulai riset terhadap ide ini (jaringan komputer terdistribusi), yang ditujukan untuk tujuan militer.
Awal 1960-an Teori mengenai packet-switching dapat diimplementasikan dalam dunia nyata.

Pertengahan 1960-an ARPA mengembangkan ARPANET untuk mempromosikan "Cooperative Networking of Time-sharing Computers", dengan hanya empat buah host komputer yang dapat dihubungkan hingga tahun 1969, yakni Stanford Research Institute, University of California, Los Angeles, University of California, Santa Barbara, dan University of Utah.

1965
Istilah "Hypertext" dikeluarkan oleh Ted Nelson.

1968
Jaringan Tymnet dibuat.

1971
Anggota jaringan ARPANET bertambah menjadi 23 buah node komputer, yang terdiri atas komputer-komputer untuk riset milik pemerintah Amerika Serikat dan universitas.
1972
Sebuah kelompok kerja yang disebut dengan International Network Working Group (INWG) dibuat untuk meningkatkan teknologi jaringan komputer dan juga membuat standar-standar untuk jaringan komputer, termasuk di antaranya adalah Internet. Pembicara pertama dari organisasi ini adalah Vint Cerf, yang kemudian disebut sebagai "Bapak Internet"

1972-1974
Beberapa layanan basis data komersial seperti Dialog, SDC Orbit, Lexis, The New York Times DataBank, dan lainnya, mendaftarkan dirinya ke ARPANET melalui jaringan dial-up.
1973
ARPANET ke luar Amerika Serikat: pada tahun ini, anggota ARPANET bertambah lagi dengan masuknya beberapa universitas di luar Amerika Serikat yakni University College of London dari Inggris dan Royal Radar Establishment di Norwegia.

1974
Vint Cerf dan Bob Kahn mempublikasikan spesifikasi detail protokol Transmission Control Protocol (TCP) dalam artikel "A Protocol for Packet Network Interconnection".
1974
Bolt, Beranet & Newman (BBN), pontraktor untuk ARPANET, membuka sebuah versi komersial dari ARPANET yang mereka sebut sebagai Telenet, yang merupakan layanan paket data publik pertama.
1977
Sudah ada 111 buah komputer yang telah terhubung ke ARPANET.
1978
Protokol TCP dipecah menjadi dua bagian, yakni Transmission Control Protocol dan Internet Protocol (TCP/IP).

1979
Grup diskusi Usenet pertama dibuat oleh Tom Truscott, Jim Ellis dan Steve Bellovin, alumni dari Duke University dan University of North Carolina Amerika Serikat. Setelah itu, penggunaan Usenet pun meningkat secara drastis.
Di tahun ini pula, emoticon diusulkan oleh Kevin McKenzie.

Awal 1980-an Komputer pribadi (PC) mewabah, dan menjadi bagian dari banyak hidup manusia.
Tahun ini tercatat ARPANET telah memiliki anggota hingga 213 host yang terhubung.
Layanan BITNET (Because It's Time Network) dimulai, dengan menyediakan layanan e-mail, mailing list, dan juga File Transfer Protocol (FTP).
CSNET (Computer Science Network) pun dibangun pada tahun ini oleh para ilmuwan dan pakar pada bidang ilmu komputer dari Purdue University, University of Washington, RAND Corporation, dan BBN, dengan dukungan dari National Science Foundation (NSF). Jaringan ini menyediakan layanan e-mail dan beberapa layanan lainnya kepada para ilmuwan tersebut tanpa harus mengakses ARPANET.
1982 Istilah "Internet" pertama kali digunakan, dan TCP/IP diadopsi sebagai protokol universal untuk jaringan tersebut.
Name server mulai dikembangkan, sehingga mengizinkan para pengguna agar dapat terhubung kepada sebuah host tanpa harus mengetahui jalur pasti menuju host tersebut.
Tahun ini tercatat ada lebih dari 1000 buah host yang tergabung ke Internet.
1986 Diperkenalkan sistem nama domain, yang sekarang dikenal dengan DNS (Domain Name System) yang berfungsi untuk menyeragamkan sistem pemberian nama alamat di jaringan komputer.
[sunting] Kejadian penting lainnya
Tahun 1972, Ray Tomlinson berhasil menyempurnakan program e-mail yang ia ciptakan setahun yang lalu untuk ARPANET. Program e-mail ini begitu mudah sehingga langsung menjadi populer. Pada tahun yang sama, ikon "@" juga diperkenalkan sebagai lambang penting yang menunjukkan “at” atau “pada”. Tahun 1973, jaringan komputer ARPANET mulai dikembangkan ke luar Amerika Serikat.
Komputer University College di London merupakan komputer pertama yang ada di luar Amerika yang menjadi anggota jaringan Arpanet. Pada tahun yang sama, dua orang ahli komputer yakni Vinton Cerf dan Bob Kahn mempresentasikan sebuah gagasan yang lebih besar, yang menjadi cikal bakal pemikiran internet. Ide ini dipresentasikan untuk pertama kalinya di Universitas Sussex.
Hari bersejarah berikutnya adalah tanggal 26 Maret 1976, ketika Ratu Inggris berhasil mengirimkan e-mail dari Royal Signals and Radar Establishment di Malvern. Setahun kemudian, sudah lebih dari 100 komputer yang bergabung di ARPANET membentuk sebuah jaringan atau network. Pada 1979, Tom Truscott, Jim Ellis dan Steve Bellovin, menciptakan newsgroups pertama yang diberi nama USENET. Tahun 1981 France Telecom menciptakan gebrakan dengan meluncurkan telpon televisi pertama, dimana orang bisa saling menelpon sambil berhubungan dengan video link.
Karena komputer yang membentuk jaringan semakin hari semakin banyak, maka dibutuhkan sebuah protokol resmi yang diakui oleh semua jaringan. Pada tahun 1982 dibentuk Transmission Control Protocol atau TCP dan Internet Protokol atau IP yang kita kenal semua. Sementara itu di Eropa muncul jaringan komputer tandingan yang dikenal dengan Eunet, yang menyediakan jasa jaringan komputer di negara-negara Belanda, Inggris, Denmark dan Swedia. Jaringan Eunet menyediakan jasa e-mail dan newsgroup USENET.
Untuk menyeragamkan alamat di jaringan komputer yang ada, maka pada tahun 1984 diperkenalkan sistem nama domain, yang kini kita kenal dengan DNS atau Domain Name System. Komputer yang tersambung dengan jaringan yang ada sudah melebihi 1000 komputer lebih. Pada 1987 jumlah komputer yang tersambung ke jaringan melonjak 10 kali lipat manjadi 10.000 lebih.
Tahun 1988, Jarko Oikarinen dari Finland menemukan dan sekaligus memperkenalkan IRC atau Internet Relay Chat. Setahun kemudian, jumlah komputer yang saling berhubungan kembali melonjak 10 kali lipat dalam setahun. Tak kurang dari 100.000 komputer kini membentuk sebuah jaringan. Tahun 1990 adalah tahun yang paling bersejarah, ketika Tim Berners Lee menemukan program editor dan browser yang bisa menjelajah antara satu komputer dengan komputer yang lainnya, yang membentuk jaringan itu. Program inilah yang disebut www, atau World Wide Web.
Tahun 1992, komputer yang saling tersambung membentuk jaringan sudah melampaui sejuta komputer, dan di tahun yang sama muncul istilah surfing the internet. Tahun 1994, situs internet telah tumbuh menjadi 3000 alamat halaman, dan untuk pertama kalinya virtual-shopping atau e-retail muncul di internet. Dunia langsung berubah. Di tahun yang sama Yahoo! didirikan, yang juga sekaligus kelahiran Netscape Navigator.

Selasa, 09 Agustus 2011

ربـة الســـــيـف و القــلـم



بداية للاسف لابد منها ... رغم اني لست معتادة علي الحديث عن نفسي لاني اعتبر من يفعل ذلك هو نوع من الاستعراض و الفقر الاجتماعي , و افضل ان يتحدث عنك عملك , و لكن ان كنت وسط اناس لا يعرفون طبيعة عملك و ماذا تفعل او بعيدين عن مجال عملك , فلابد من التعريف المقتضب .... كان من حظي ان اتخرج من كلية الصيدلة بجامعة القاهرة دفعة 2006 , اي انني كنت في قلب الاحداث منذ البداية , امضيت الخمس اعوام ليس في خضم المذاكرة كما يفعل الاغلب , او اعتمد علي الدروس الخصوصية كما هو متفشي بين الفعض , و لكني كنت طالبة تقليدية احضر المحاضرات كلها و السكاشن و احاول المذاكرة من الكتاب و المحاضرات قبل ورق الدروس , و لكني بجانب ذلك كنت مؤمنة ان الكلية ليست مجرد مكان لتحصيل العلم فقط و لكنه مصنع لصقل الشخصية لاعدادها للحياة الواسعة , بعد عام و نصف كلل الله بحثي عن رفقة صالحة بصحبة لازلت اعرف اغلبها حتي اليوم , تلك الرفقة استطعنا ان ننشئ اسرة من العدم في العام الثالث لي في الكلية و انتهي الامر ان كلل الله مجهودنا بالنجاح في العام الاخير من دراستي ( نجحت في الفوز بانتخابات اتحاد الطلبة و ايضا ً الاتحاد الحر الموازي الذي تم عمله بعد اعادة طلبة الاخوان المستبعدين اي بدون تزوير في كلا الحالين ) كانت علاقتنا جيدة للغاية بكل التيارات في الدفعة , و كنا خارج العمل اصدقاء و بيننا ثقة و احترام متبادل بعد التخرج حاولت ان انقل مستوي العمل العام الي داخل النقابة و تعرفت علي ما يسمي بلجنة الشباب .. و كنت في تلك الاثناء اواظب علي حضور و التعرف علي الوسط الثقافي في القاهرة ( في عام 2007 بدأت التعرف علي المسيري و صالون الوسط الثقافي و جمعية مصر للثقافة و الحوار و كان هذا العام العام الذهبي للتدوين المصري ايضا و كنت قد انشأت مدونتي في اواخر 2006 - لم انضم لاي تيار - و علمت انه المنطق الانسب لمن هي مثلي - ) و تعرفت علي شباب جيد للغاية بالفعل يعمل بها , رايت ما يحدث في النقابة , من محاولات مستميتة من اعضاء الجزب الوطني السيطرة عليها و تصدي الاخوان الموجودين بداخلها لهم ,و محاولة اقامة انشطة - اري انه لابد ان تكون هناك رؤية اكثر ووضح للانشطة و لكن لا بأس بالطبع مما هو موجود - كانت آخر تلك المحاولات الحكومة السيطرة علي النقابة كانت السير في اجرائات قضية فرض الحراسة علي النقابة ( كي تكون مواردها تحت تصرف الحارس القضائي مثلما هو حدث مع نقابة المهندسين ) من قبل الاستاذ "المحترم " محمود عبد المقصود ...

--------------------------------------------------------

لماذا اقول هذا الكلام ؟؟؟ فقط ليعلم من سيقرأ تعليقي انني لست من فئة المغيبين او حزب الكنبة او المهاجمين علي طول الخط او الشامتين او المغتاظين او المضللين من قبل الاعلام , انا لا اثق بالاعلام دائما و احب ان ابحث بنفسي , لانه و للاسف الشديد من يبدأ في نقد موضوعي لفصيل ما يتم تصنيفه اوتوماتيكيا تحت مظله ( من ليس معي فهو ضدي و لابد ان اتوقع منه الشر و انه حاقد و ما الي ذلك من هذا التفكير ) و من اتحدث عنهم اعرفهم شخصيا و رأيتهم عدة مرات و حكي لي زملاء ثقات ما يحدث لهم في اعمالهم منهم و كلامهم و شهادتهم غير مجروحة ....

---------------------------------------------------------
اعمل الان في التأمين الصحي بشكل مؤقت ... و في يوم قالت لنا المديرة ان هناك اشارة قادمة من مدير الفرع - فرغ غرب الدلتا - ان هناك اجتماع لنا من اعضاء ممثلي النقابة العامة و النقيب الفرعي المؤقت , ( لان الانتخابات في النقابة كانت متوقفة منذ اكثر من 19 عام ) كان مفدي الاشارة انه يمكن للصيادلة الانصراف ساعة مبكرا من اعمالهم دون اي ملامة حتي يتمكنوا من حضور هذا الاجتماع , ظننت ان الاجتماع بخصوص اضراب الصيادلة الحكوميين الذي قد سمعت عنه منذ فترة احتجاجا علي تصريحات وزير الصحة بمساواتهم بالتمريض في الكادر الطبي .... ( ليست تفرقة عنصرية لدعاة حقوق الانسان و لكن اعتقد ان المجموع و الدراسة في الكلية الصعبة و الخبرة العلمية و ليست الفنية لابد ان يكون لها تقدير بشكل ما ) و لكني عندما اجريت اتصالاتي بالقاهرة فوجئت ان الاجتماع هو في النهاية ( دعايا انتخابية لقائمة إئتلاف صيادلة مصر - دون الاشارة بالطبع الي انهم من الاخوان المسلمين ) السؤال هنا , هل هناك اي فصيل من المستقلين من يمكنهم ان يجتمعوا بالصيادلة مثلما فعل اعضاء هذا الائتلاف و تصدر لهم اشارة رسمية للتوقف ساعة مبكرا ً عن العمل و الاجتماع بهم بهذا الشكل الرسمي ؟؟؟ اليس هذا نوع من استغلال المناصب للصالح الشخصي ؟؟ من جاء سمع الينا في البداية بتركيز ثم ذهب التركيز بسرعة و بدأ التململ و الضيق و محاولة استخدام اليات دفاعيه من القاء التهم علي الصيادلة بدل ن سماعهم و محاولة امتصاص غضبهم ... عندما وصل مستوي الاسئلة الي اسئلة عميقة خاصة بصلب المهنة بدا واضحا تماما انهم لا يعرفون اي شئ عن ما يحدث في وزارة الصحة او التأمين الصحي او الحكومة بشكل عام , بل جائوا يبيعوننا كلام محفوظ و للاستهلاك الاعلامي اكثر منه للتطبيق العملي ... او كلام حماسي لا يسمن ولا يغني من جوع , لم اشعر بالصدق , كان هذا انطباع كل زميلاتي بدء من المديرة حتي اصغر صيدلانية بيننا .... بالطبع من جاء من مصر كنت اعرفهم - من الصيادلة الكبار فوق السن لا اتحدث عن من هم تحت السن لاني اعرف ابناء القاهرة و هم الصراحة غاية في الاحترام و النزاهة - و لكن ما اثار حنقي و غضبي ان نفس الوجوه التي رأيتها قبل الثورةو التي كانت تستطيع تصريف امورها مع الحكومة قبل الثور هي هي نفس الوجوه ( تم تثبيت 3 و هم من حضروا ) و هو ما ارفضه شكلا و موضوعا ً ... السنا بعد الثورة و لابد من تغيير الدماء بأخري اخصب و اصبي ؟؟؟ كان نظام الانتخابات فردي , و لكن اختار كل اصحاب توجهات متوافقة ان يتكتلوا و ينشؤوا قائمة خاصة بهم لنختار منها العدد الذي يكمل النصاب المفروض ... و لكن لا توجد قوائم ملزمةما جعلني استشيط غضبا ً هو ما وجدته في قائمة الاخوان المسلمين المتعارف عليها بقائمة صيادلة مصر .... وجدت علي رأسها الدكتور المحترم الذي فاز في الانتخابات هذه المرة ( محمد عبد الجواد ) لا ادري كيف ايد الاخوان و انزلوا في قائمتهم هذا الشخص !!!! الكارثة الحقيقية ان الاغلب في الاقاليم - و اغلب الصيادلة في القاهرة ايضا - لا يعرف هؤلاء الاشخاص عن قرب او لا يمتلكون علاقات في الدوائر الحكومية الصيدلانية تمكنهم من معرفة نشاط هؤلاء و كيف يتعاملون من الصيادلة الحكوميين و كيف يقررون قرارات تؤثر علي المهنة علي الامد البعيد , سأكتفي بذكر حالتي فقط من مصادر ثقة ... اولا هو شريك لمجموعة صيدليات العزبي الشهيرة في صيدليتين ( هذا ضد القانون الصيدلي بالطبع فتلك المجموعات تحتكر سوق الدواء و لا تترك مجال لتكافئ الفرص في المنافسة و من يدفع الثمن بالطبع هو صغار الصيادلة ) كان له موقف غير محترم من صيادلة الادارة المركزية الطبية ( هي الادارة التي تصدر تراخيص الدواء و تقر الادوية الوارد من الخارج و تحللها و تعطي رخص مزاولة المهنة و تقوم بالتفتيش الصيدلي علي الصيدليات و المصانع و تضبط المغشوش منها و بالطبع يتعرض الصيادلة في تلك الادارة لمبالغ و رشاوي في كل خطوة يخطونها ) كانت هناك رسوم تتقاضاها الادارة المركزية حتي ترخص الصيدليات فقام الدكتور المحترم برفع قضية علي الادارة حتي تلغي سلطة تلك الورقة التي تصدرها الادارة المركزية و تجعلها بلا قيمة و هذا من اجل تصفية حسابات مع وزارة الصحة ( الله اعلم لصالح من هذا ) و لكنه ابدا ليس في صالح الصيدلي الذي هو من المفترض نقيبه و لابد ان يعمل لخدمته و لتحقيق افضل ظروف العمل له ... و كانت حجته انه ليس ضد ما تفعل الادارة من تنظيم لسوق و لكنه لابد ان يعرف اي تذهب تلك الاموال و بالطبع لم يسأل عن هذا الامر الا عندما زادت المرتبات ( بالطبع الزيادة في الحكومة ليست زيادة معتبرة فالجميع يعرف ان مرتب الطبيب 300 جنية شهريا و بالطبع حتي لو زاد لالف جنية فهذه لا تسمي زيادة في ظل الاسعار الرهيبة التي حولنا ) من يهتم للاطلاع علي تفاصيل تلك المهزلة من صيدلانية شاهدة علي الموقف ليشاهد هذا الرابط

و بالطبع ما خفي كان اعظم ... فهو كان قائم باعمال النقيب د. زكريا جاد بدلا منه لفترة ليست بالقليلة فاللسلطة شهوة حتي و ان كانت مقيدة من قبل الحكومة و لكنه علي الاقل استطاع ان يدبر امره معهم ( و ليس مثلا مثل الشرفاء الاخرين الذين كانوا ضيوف دائمين علي سجون النظام السابق ) لقد كان وجود مثل هذا الدكتور ضمن قائمة مرشحي الاخوان هو شئ لا يمكنني تفسيره الا ان المصلحة العامة و مصلحة المهنة ليست هي المحرك الاساسي للاخوان ... هناك حسابات سياسية اخري للاسف ... عندما واجهنا الاخوان في مجموعة دفعتنا كان ردهم الدائم - التبريري كما هي حالتهم لأنهم لا يخطؤون ابدا - ان القائمة غير ملزمة و من حق اي احد ان يرشح من يريد ... طيب لماذا من اساسه دعمتم مرشح بمثل هذا السوء و تقولوا انه ليس من الاخوان ؟؟؟ معظم المهتمين علي النت يطنطنون بأن هذا الختيار الناس و ان الشعب سينساق لصالح الاخوان في اختياراتهم ... بالطبع هذه مع كامل احترامي سذاجة ... لمن بتابع الاعداد التي ذهبت للانتخاب سيعرف انها اعداد زهيلة لا تمثل الشريحة الصيدلانية التي تخرج كل عام حوالي 10 الاف صيدلي- منذ حوالي 10 سنوات - من مختلف كليات الصيدلة المختلفة .... الانتخابات اولا عن آخر في كل محافظات مصر لم يهب اليها 15 الف علي بعضهم .... فالأغلب لا يزالون حزب كنبة ... لا يتحرك من مكانه , و من ذهب للاسف لا يعرف عن عبد الجواد او عن اي احد من المرشحين الا الورقة التي توضع امامه ساعة الانتخاب و يقال له اختار تلك القائمة .... و لثقته ان الاخوان ناس - بتوع ربنا - اكيد اللي هيختاروهم ناس كويسين ... احزن بشدة علي المسؤول في الاخوان علي من دفع بالشباب و الفتيات الغضين مثل الورد في الدعايا بكل قوة و حرارة لمثل تلك القائمة و انا اجزم انهم لا يعرفون شيئا عن ما يحدث في الكواليس ولا يعرفون من الاسماء اي احد الا انها اسماء قادمة من اختيارات ثقة .... بعد ما قلت , وجة نظري الشخصية انه من المفروض ان تكون النقابات للمهنيين فقط دون ان تدخل الايديولوجية السياسية في الامر ... لانه سينتج عنده متاجرة بقضايا العاملين في مجال ما لحساب المرجعية الاساسية للجماعة او للحزب , و لن تكون مصلحة العاملين هي المحرك الاساسي و لكن ستطغي مصالح اخري و اولويات ليست من بينهم مصلحة ابن المهنة ( كما حدث في موقف الادارة المركزية تصفية حسابات و المستفيد بالتأكيد ليس الصيدلي )

Senin, 08 Agustus 2011

Keutamaan Halaqoh Tadarus Al-Qur’an

بسم الله الرحمن الرحيم

Keutamaan Halaqoh Tadarus Al-Qur’an

ilustrasi dari http://www.lojainiat.com

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ” وما اجتمع قوم في بيت من بيوت الله يتلون كتاب الله ويتدارسونه بينهم إلا نزلت عليهم السكينة وغشيتهم الرحمة وحفتهم الملائكة وذكرهم الله فيمن عنده “.

Dari Abu Huroiroh رضي الله عنه , dia berkata, ‘Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda : “Dan tidaklah satu kaum berkumpul dalam satu rumah dari rumah-rumah Alloh, mereka membaca Kitabulloh dan saling mempelajarinya diantara bereka, kecuali ketenangan akan turun kepada mereka, kasih sayang akan menyelimuti mereka, malaikat akan menaungi mereka, dan Alloh akan menyebutkan mereka di tengah makhluq yang ada di sisi-Nya”. (HR. Muslim no.7028, Ibnu Majah no.225, Ahmad no.7421)

Yang dimaksud rumah Alloh Ta’ala adalah masjid sebagaimana firman Alloh Ta’ala dalam Al-Qur’an :

(فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَن تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ) (النور : 36 )

Artinya :

“Bertasbih kepada Alloh di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang”. (An-Nuur:36)

Minggu, 17 Juli 2011

Pengaruh Gaya Pengasuhan Orangtua Terhadap Kemandirian Remaja

Keluarga adalah lingkungan pertama dan utama dalam membentuk kepribadian seorang anak. Seorang anak akan tumbuh menjadi seorang remaja yang mandiri baik dalam hal emosi, berbuat, maupun berprinsip yang hal tersebut sangat dipengaruhi oleh gaya pengasuhan orangtua dalam lingkungan keluarganya. Sehubungan dengan gaya pengasuhan orangtua dan hubungannya dengan kemandirian para remaja, hal yang terpenting diketahui oleh para orangtua bahwa seorang remaja juga sangat membutuhkan dukungan daripada sekedar pengasuhan, seorang remaja juga membutuhkan bimbingan daripada sekedar perlindungan, seorang remaja juga membutuhkan pengarahan daripada sekedar sosialisasi, dan seorang remaja dalam kehidupannya sangat membutuhkan perhatian dan kasih sayang (kebutuhan psikis) daripada sekedar pemenuhan kebutuhan fisik/materi semata. Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut sangat terkait pula dengan gaya pengasuhan yang diperankan oleh para orangtuanya, yang pada akhirnya juga sangat berpengaruh pada tumbuhnya kemandirian pada diri seorang anak ketika ia tumbuh menjadi seorang yang dewasa kelak.

A. Pendahuluan

Semua orangtua tentu saja mengharapkan anaknya dapat tumbuh menjadi manusia yang cerdas, bahagia, dan memiliki kepribadian yang baik. Namun harapan tersebut tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Dituntut kesabaran, keuletan dan kesungguhan dari para orangtua agar harapan tersebut dapat terwujud. Salah satu yang perlu diperhatikan oleh orangtua adalah menerapkan gaya pengasuhan yang tepat agar anaknya dapat berkembang menjadi manusia dewasa seperti yang diharapkan.

Wahana yang pertama dan utama bagi pertumbuhan dan perkembangan seorang anak adalah keluarga. Dalam lingkungan keluargalah anak diasuh dan dibesarkan sehingga mengalami suatu proses untuk “menjadi” seorang manusia yang dewasa.

Fungsi keluarga dalam proses memberi “corak dan warna” seorang anak sangat vital. Fungsi tersebut disamping sangat vital juga berubah dan mengalami perkembangan seiring dengan bertumbuh dan berkembangnya usia seorang anak Misalnya pada masa bayi dan kanak-kanak, fungsi dan tanggung jawab utama sebuah keluarga adalah mengasuh, merawat, melindungi, membesarkan, dan melakukan proses sosialisasi. Namun seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan seorang anak, misalnya ketika ia menjadi seorang remaja, maka fungsi utama keluarga akan bergeser dan bertambah pula. Seorang remaja lebih membutuhkan dukungan (support) dari sekedar pengasuhan (nurturance), ia lebih membutuhkan bimbingan (guidance) dari sekedar perlindungan (protection), dan seorang remaja lebih membutuhkan pengarahan (direction) dari sekedar sosialisasi (socialization)

Berikut ini akan diuraikan bagaimana dan seperti apa kecenderungan seorang anak akan tumbuh menjadi seorang remaja yang mandiri jika dikaitkan dengan gaya pengasuhan (parenting style) dari orangtua.

B. Kemandirian Remaja

Dalam Bahasa Indonesia, kata “mandiri” diartikan sebagai suatu keadaan dapat berdiri sendiri, tidak bergantung kepada orang lain. Kata “kemandirian” adalah kata benda dari kata mandiri yang diartikan sebagai hal atau keadaan dapat berdiri sendiri tanpa bergantung kepada orang lain. Kemandirian menunjuk pada adanya kepercayaan akan kemampuan diri sendiri untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tanpa bantuan orang lain, tanpa dikontrol oleh orang lain, dapat melakukan kegiatan dan menyelesaikan sendiri masalah-masalah yang dihadapinya. Selanjutnya, dengan mengutip pendapat Johnson dan Medinnus, (Widjaja, 1986) menjelaskan bahwa kemandirian merupakan salah satu ciri kematangan yang memungkinkan seorang anak berfungsi otonom, berusaha ke arah terwujudnya prestasi pribadi dan tercapainya suatu tujuan.

Dalam istilah psikologi, kata mandiri dipadankan dengan kata otonomi (autonomy). Senada dengan pendapat di atas, secara singkat Chaplin (1997) dalam Kamus Psikologi memberikan arti kata autonomy sebagai keadaan pengaturan diri, atau kebebasan individu manusia untuk memilih, menguasai dan menentukan dirinya sendiri.

Dari beberapa pengertian kemandirian di atas, diambil suatu pengertian bahwa secara substansial kata mandiri/kemandirian dan kata otonomi (autonomy) mempunyai kata kunci yang sama yakni terlepas dari ketergantungan pada orang lain, mempunyai tanggung jawab pribadi serta mampu melaksanakan segala sesuatunya oleh dirinya sendiri.

Fasick dalam Rice (1996: 45) mengatakan: “one goal of every adolescent is to be accepted as an autonomous adult”. Dengan demikian, maka kemandirian merupakan salah satu aspek yang gigih diperjuangkan dan diidamkan oleh setiap para remaja. Tuntutan adanya separasi (separation) atau self-detachment dari para remaja terhadap orangtua atau keluarganya semakin tinggi, hal ini sejalan dengan memuncaknya proses perubahan fisik, kognisi, afeksi, sosial, moral dan mulai matangnya pribadi para remaja saat memasuki masa dewasa awal, dan berkembangnya kebutuhan akan kemandirian (autonomy) dan pengaturan diri sendiri (self directed) dari para remaja.

Steinberg (1993), menyatakan bahwa secara psikososial kemandirian tersusun dari tiga bagian pokok yaitu: 1). Emotional autonomy (kemandirian emosi), 2). Behavioral autonomy (kemandirian untuk bertindak atau berbuat), dan 3). Value autonomy (kemandirian nilai).

1. Emotional autonomy (kemandirian emosi), yaitu aspek kemandirian yang berhubungan dengan perubahan kedekatan/keterikatan hubungan emosional individu, terutama dengan orangtua.

Ketika seorang anak telah memasuki usia remaja, maka hubungan antara anak dengan orangtuanya akan terasa berubah. Seiring dengan timbulnya kemandirian seorang anak, terutama dalam hal mengurus dirinya sendiri maka waktu yang diluangkan untuk kebersamaan orangtua terhadap anaknya akan semakin berkurang dengan sangat tajam.

Interaksi sosial pada seorang anak remaja yang awalnya lebih banyak terjadi di dalam lingkungan keluarga akan bergerak menuju ke lingkungan di luar keluarganya. Jika selama ini seorang anak remaja ketika masih dalam masa kanak-kanak interaksi sosialnya terbatas hanya dalam lingkungan keluarga, maka pada masa remaja hal ini mulai berkurang seiring dengan bertambah luasnya lingkungan sosial atau pertemanan remaja yang didapatnya. Keterikatan seorang remaja dengan orangtuanya akan semakin bekurang, Ia akan berubah menjadi dirinya sendiri dan berusaha mencari model yang sesuai dengan keinginannya. Ketergantungan emosional seorang remaja terhadap orangtua atau keluarganya akan semakin berkurang, meskipun ikatan emosional sebagai seorang anak terhadap orangtuanya tidak serta merta dan tidak mungkin dapat dipatahkan secara sempurna (Rice, 1996).

Steinberg (1993) menyebutkan bahwa kemandirian emosi seorang remaja dapat dilhat dari beberapa indikator seperti diantaranya sebagai berikut:

a. Tidak serta merta lari atau mengadu kepada orangtuanya ketika mereka dirundung kesedihan, kekecewaan, kekhawatiran, atau ketika ia sedang membutuhkan bantuan.

b. Tidak lagi memandang orangtuanya sebagai orang yang mengetahui segala-galanya atau menguasai segala-galanya.

c. Seringkali mempunyai energi emosional yang besar dalam rangka menyelesaikan hubungan-hubungan di luar keluarganya, dan dalam kenyataannya mereka merasa lebih dekat dengan teman-temannya daripada orangtuanya sendiri.

d. Mampu memandang dan berinteraksi dengan orangtuanya sebagai orang pada umumnya, artinya bukan semata-mata sebagai orangtuanya.

2. Behavioral autonomy (kemandirian untuk bertindak atau berbuat), yaitu aspek kemampuan untuk membuat keputusan secara bebas dan melakukan tindak lanjut.

Mandiri dalam tingkah laku berarti bebas untuk bertindak/berbuat sendiri tanpa terlalu bergantung pada bimbingan/pertolongan dari orang lain. Kemandirian berbuat, khususnya kemampuan mandiri secara fisik sesungguhnya sudah dimulai sejak usia anak (Widjaja, 1986), kemudian akan meningkat dengan sangat tajam sepanjang usia remaja. Peningkatan ini bahkan lebih dramatis daripada peningkatan kemandirian emosional.

Kemandirian untuk berbuat sesungguhnya telah dimulai sejak dari adanya sebuah kewewenang yang diberikan oleh orangtua terhadap anaknya untuk berbuat atau melakukan sesuatu dengan sendiri. Secara psikologis, seorang remaja ingin mendapatkan kemandirian dalam hal bertingkah laku secara perlahan-lahan.

Pemberian kepercayaan sebaiknya diberikan secara bertahap atau sedikit demi sedikit terhadap seorang anak, hal ini akan memberikan situasi yang kondusif terhadap peningkatan kemandirian tingkah lakunya. Jika pemberian kewenangan atau kepercayaan diberikan secara berlebihan, maka kemungkinan justru akan dianggap oleh anak sebagai sebuah penolakan. Menurut Rice (1996), seorang anak ingin memikul tangungjawab sendiri, mempunyai kebebasan untuk berpendapat, ingin menggunakan kemampuannya sendiri dalam menyelesaikan masalah, namun pada hakekatnya ia menginginkan perhatian orangtua dan tidak menghendaki adanya kebebasan yang liberal atau kebebasan yang penuh.

Hill dan Holmbeck (dalam Steinberg (1993) mengemukakan beberapa indikator dari munculnya kemandirian berbuat pada seorang remaja diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Kemampuan untuk membuat keputusan sendiri dan mengetahui dengan pasti kapan seharusnya meminta/mempertimbangkan nasehat orang lain.

b. Mampu mempertimbangkan bagian-bagian alternatif dari tindakan yang dilakukan berdasarkan penilaian diri sendiri dan saran-saran orang lain,

c. Mencapai suatu keputusan yang bebas tentang bagaimana seharusnya bertindak/melaksanakan keputusan dengan penuh percaya diri.

3. Value autonomy (kemandirian nilai), yaitu aspek kebebasan untuk memaknai seperangkat prinsip tentang benar dan salah, hak dan kewajiban, apa yang penting dan apa yang kurang atau tidak penting.

Kemandirian nilai sesungguhnya menunjuk kepada suatu pengertian mengenai kemampuan seseorang dalam mengambil sebuah keputusan dan menetapkan sebuah pilihan dengan berpegang atas dasar prinsip-prinsip individual yang dimilikinya daripada mengambil prinsip-prinsip dari orang lain.

Jika dibandingkan dengan dua kemandirian sebelumnya yakni kemandirian emosi dan kemandirian untuk berbuat, maka kemandirian nilai merupakan proses yang paling kompleks, tidak jelas bagaimana prosesnya berlangsung dan seperti apa pencapaiannya, terjadi melalui proses internalisasi yang pada lazimnya tidak disadari dan umumnya berkembang paling akhir, dan paling sulit dicapai secara sempurna. Menurut Thornburg (1982), kemandirian nilai akan lebih berkembang setelah sebagian besar keputusan yang menyangkut cita-cita, pendidikan, rencana pekerjaan, dan perkawinan dialami dan dicapainya. Dalam banyak kasus, sistem nilai remaja dan orangtua sedemikian sama sehingga nilai-nilai orangtua akan dilestarikan oleh seorang remaja pada masa setelah ia dewasa.

Perkembangan kemandirian nilai membawa perubahan-perubahan pada konsepsi-konsepsi remaja tentang moral, politik, ideologi dan persoalan-persoalan agama. Steinberg (1993) menyebutkan bahwa tanda-tanda perkembangan kemandirian nilai remaja diantaranya sebagai berikut:

a. Cara remaja dalam memikirkan segala sesuatu menjadi semakin abstrak,

b. Keyakinan-keyakinan remaja menjadi semakin bertambah mengakar pada prinsip-prinsip umum yang memiliki beberapa basis idiologis,

c. Keyakinan-keyakinan remaja menjadi semakin bertambah tinggi dalam nilai-nilai mereka sendiri, bukan hanya dalam suatu sistem nilai yang ditanamkan oleh orangtua atau figur pemegang kekuasaan lainnya.

C. Pengaruh Gaya Pengasuhan Orangtua terhadap Kemandirian Remaja

Remaja yang mandiri adalah remaja yang memiliki kemampuan untuk mengatur dirinya sendiri secara bertanggung jawab meskipun tidak ada pengawasan dari orangtuanya (Steinberg, 1993). Kondisi demikian menyebabkan remaja memiliki peran dan sekaligus tanggung jawab baru, remaja menjadi tidak tergantung pada orang tuanya untuk memperoleh kemandirian secara emosional. Kemandirian menuntut kesiapan individu baik secara fisik maupun emosional untuk mengatur, mengurus, dan melakukan aktivitas atas tanggung jawabnya sendiri tanpa tergantung pada orang lain. Namun kurangnya pengalaman remaja dalam menghadapi berbagai masalahnya menyebabkan mereka seringkali mengalami kesulitan dalam memperoleh kemandirian emosional.

Kemandirian adalah salah satu aspek penting dalam kehidupan remaja dan merupakan bagian dari tugas-tugas perkembangan yang harus dicapainya sebagai persiapan untuk memasuki masa dewasa. Perkembangan kemandirian yang menonjol terjadi selama masa remaja, perubahan-perubahan fisik, kognitif, dan sosial terjadi pada periode ini (Steinberg, 1993). Oleh sebab itu, kemandirian remaja dipandang sebagai sesuatu yang mendasar dan patut mendapat perhatian agar mereka dengan mantap dapat memasuki dunianya yang baru, yaitu masa dewasa tanpa mengalami hambatan yang berarti.

Ciri perkembangan kemandirian pada remaja diantaranya dapat dilihat pada perubahan hubungan kedekatan emosional antara remaja dengan orang tuanya. Perubahan hubungan tersebut sebagai proses transformasi, meskipun hubungan-hubungan mengalami perubahan, namun ikatan-ikatan perasaan (emosi) bagaimanapun tidak akan putus (Steinberg, 1993).

Perkembangan kemandirian remaja dapat dilihat dalam pola-pola pengertian yang dikembangkan remaja mengenai individualisasi. Proses individualisasi dimulai dari masa bayi dan terus berlanjut hingga memasuki masa remaja awal, meliputi perubahan yang berangsur-angsur (gradual) dan bergerak maju (progressive) bergerak ke arah individu yang mandiri, yang kompeten, dan terpisah dari orangtua. Proses individualisi merupakan pelepasan ketergantungan-ketergantungan seorang anak pada orangtuanya yang mendukung untuk menjadi lebih dewasa, lebih bertanggung jawab, dan mandiri.

Pada masa remaja, salah satu tugas perkembangannya adalah memperoleh kemandirian emosional dari orangtuanya dan dari orang dewasa lainnya (Havighrust, dalam Hurlock 1997). Perkembangan kemandiran emosional remaja dimulai dari terjadinya perubahan hubungan emosional antara remaja dengan orangtuanya, mereka mulai mengambil jarak dengan orangtuanya dan ingin mengatasi masalahnya sendiri. Perubahan yang terjadi secara berangsur-angsur dalam hubungan keluarga dapat memberikan anak lebih bebas dan lebih mendorong munculnya tanggung jawab anak, namun tidak mengancam ikatan emosional antara orangtua dengan anaknya (Baumrind, 1967). Perubahan demikian memberikan perkembangan kemandirian emosi akan semakin meningkat dan mudah untuk menciptakan sebuah keluarga yang fleksibel.

Beberapa faktor eksternal yang mempengaruhi terbentuknya kemandirian emosi remaja dimulai dari lingkungan keluarga melalui pola pengasuhan orangtua sehari-hari, kondisi pekerjaan orangtua, tingkat pendidikan orangtua, dan banyaknya anggota keluarga (Steinberg, 1993). Di samping faktor tersebut, faktor yang turut mempengaruhi terbentuknya kemandirian emosi remaja adalah peran orangtua tunggal (single parent) ataupun peran kedua orangtua yang keduanya berkarir dan mengharapkan anak remajanya mandiri sepanjang hari. Demikian pula dengan urutan anak dan jumlah saudara dalam sebuah keluarga turut mempengaruhi kemandirian emosi remaja, misalnya; anak yang lebih tua (walau usianya masih muda) sering diberikan tanggung jawab dan kebebasan oleh orangtuanya yang lebih besar.

Orangtua, melalui gaya pengasuhannya, dipandang sebagai faktor penentu (determinant factor) yang mempengaruhi perkembangan kemandirian emosi remaja. Disadari atau tidak, gaya asuh orangtua telah meletakkan dasar-dasar perkembangan pola sikap dan tingkah laku anaknya.

Dalam sebuah keluarga, interaksi antara orangtua dengan anaknya melibatkan pola tingkah laku tertentu dari orangtua. Pola interaksi antara orangtua dengan anak dalam sebuah keluarga untuk mengajar, membimbing dan mendidik dengan suatu tujuan tertentu dinamakan gaya pengasuhan (parenting style). Gaya pengasuhan merupakan cara yang khas dalam menyatakan pikiran dan perasaan dalam berinteraksi antara orangtua dengan anaknya.

Penelitian tentang gaya pengasuhan orangtua telah dilakukan sejak tahun 1930-an. Salah seorang peneliti yang teorinya banyak digunakan hingga sekarang dan dianggap paling populer adalah Baumrind. Baumrind (1991) mengemukakan 4 (empat) macam gaya pengasuhan orangtua yakni: authoritarian, authoritative, permissive, dan uninvolved/neglectful. Keempat gaya pengasuhan tersebut memiliki ciri khasnya sendiri-sendiri dan masing memberikan efek yang berbeda terhadap tingkah laku anak.

1. Authoritarian.

Gaya authoritarian merupakan suatu bentuk pengasuhan orangtua yang pada umumnya sangat ketat dan kaku ketika berinteraksi dengan anaknya. Orangtua yang bergaya authoritarian menekankan adanya kepatuhan seorang anak terhadap peraturan yang mereka buat tanpa banyak basa-basi, tanpa penjelasan kepada anaknya mengenai sebab dan tujuan diberlakukannya peraturan tersebut, cenderung menghukum anaknya yang melanggar peraturan atau menyalahi norma yang berlaku. Orangtua yang demikian yakin bahwa cara yang keras merupakan cara yang terbaik dalam mendidik anaknya. Orangtua demikian sulit menerima pandangan anaknya, tidak mau memberi kesempatan kepada anaknya untuk mengatur diri mereka sendiri, serta selalu mengharapkan anaknya untuk mematuhi semua Orangtua yang bergaya authoritarian meyakini bahwa seorang anak akan menerima dengan baik setiap perkataan atau setiap perintah orangtuanya, setiap anak harus melaksanakan tingkah laku yang dipandang baik oleh orangtuanya (Baumrind, 1967). Orangtua auhtoritarian akan mencoba mengontrol remaja dengan peraturan-peraturan yang mereka tetapkan, selalu memberi perintah tanpa mau memberikan penjelasan. Orangtua authoritarian selalu menuntut, kurang memberikan otonomi pada anaknya, dan seringkali gagal memberikan kehangatan kepada anaknya..

Orangtua yang bergaya authoritarian selalu berusaha mengarahkan, menentukan, dan menilai tingkah laku dan sikap anaknya sesuai dengan standar peraturan yang ditetapkannya sendiri. Standar dimaksud biasanya didasarkan pada standar yang absolut seperti nilai-nilai ajaran dan norma-norma agama, sehingga menutup kemungkinan bagi anaknya untuk dapat membantah orangtuanya. Gaya pengasuhan orangtua yang demikian sangat berpotensi menimbulkan konflik dan perlawanan seorang anak, terutama saat anak sudah menginjak masa remaja, atau sebaliknya akan menimbulkan sikap ketergantungan seorang remaja terhadap orangtuanya (Rice, 1996), anak remaja akan kehilangan aktivitas kreatifnya, dan akan tumbuh menjadi anak yang tidak efektif dalam kehidupan dan interaksinya dengan lingkungan sosial (Santrock, 1985), remaja cenderung akan mengucilkan dirinya, kurang berani dalam menghadapi tantangan tugas dan tidak merasa bahagia .

Seorang remaja yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga atau orangtua authoritarian cenderung menunjukkan sikap yang patuh dan akan menyesuaikan dirinya pada standar-standar tingkah laku yang sudah ditetapkan oleh orangtuanya, namun di balik itu sesungguhnya mereka merasa menderita dengan kehilangan rasa percaya diri dan pada umumnya lebih tertekan dan lebih menderita secara somatis dibandingkan kelompok teman sebayanya. Sikap-sikap remaja yang demikian akhirnya akan menyebabkan remaja cenderung untuk selalu tergantung pada orangtuanya, cenderung kurang mampu mengambil keputusan untuk dirinya sendiri, serta cenderung tidak mampu untuk bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya disebabkan semuanya disandarkan pada aturan dan kehendak orangtuanya. Semua itu menunjukkan bahwa seorang remaja yang berada dalam asuhan orangtua yang authoritarian akan tumbuh menjadi anak yang tidak mandiri dalam hidupnya kelak.

2. Authoritative

Bentuk perlakuan orangtua saat berinteraksi dengan anaknya dengan cara melibatkan anak (dalam hal ini anak usia remaja) dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan keluarga dan diri anaknya merupakan gaya pengasuhan authoritative. Orangtua yang authoritative bersikap terbuka, fleksibel dan memberikan kesempatan kepada anaknya untuk dapat tumbuh dan berkembang dengan peraturan yang rasional, orangtua demikian mempunyai hubungan yang dekat dengan anak-anaknya, dan selalu mendorong anaknya untuk ikut terlibat dalam membuat peraturan dan melaksanakan peraturan dengan penuh kesadaran.

Orangtua yang bergaya authoritative bertingkah laku hangat tetapi tetap tegas. Mereka menerapkan seperangkat standar untuk mengatur anak-anaknya, tetapi sekaligus berusaha membangun harapan-harapan yang disesuaikan dengan pertumbuhan dan perkembangan, serta kemampuan dan kebutuhan anak-anaknya. Mereka juga menunjukkan kasih sayang, mau mendengarkan dengan sabar pandangan anak-anaknya, dan mendukung keterlibatan anaknya dalam membuat keputusan di dalam keluarga. Kebiasaan-kebiasaan demokrasi, saling menghargai dan menghormati hak-hak orangtua dan anak-anak ditanamkan dalam keluarga yang authoritative.

Dalam keluarga yang authoritative, keputusan-keputusan yang penting akan diputuskan secara bersama-sama walaupun keputusan akhir seringkali berada di tangan orangtua. Anak-anak diberikan kesempatan untuk memberikan alasan mengapa mereka ingin memutuskan atau akan melakukan sesuatu. Apabila alasan-alasan itu masuk akal dan dapat diterima maka orangtua yang authoritative akan memberikan dukungan, tetapi jika tidak maka orangtua akan menjelaskan alasan-alasannya mengapa dia tidak merestui keputusan anaknya tersebut. Pola interaksi yang demikian akan memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak untuk memahami pandangan orang lain yang pada akhirnya dapat mengantar pada suatu keputusan yang dapat diterima oleh kedua belah pihak.

Orangtua yang authoritative selalu berusaha menanamkan nilai-nilai kemandirian dan pengendalian diri yang tinggi pada anak-anaknya, sekaligus tetap bertanggung jawab penuh terhadap tingkah laku anak-anaknya. Kebiasaan yang rasional, berorientasi pada masalah, terlibat dalam perbincangan dan penjelasan dengan anak-anak, dan memegang teguh tingkah laku yang disiplin selalu ditanamkan oleh orangtua yang authoritative. Dalam mengatur hubungan diantara anggota keluarganya, orangtua yang authoritative akan menggunakan otoritasnya namun mengekspresikannya melalui bimbingan yang disertai dengan pengertian dan cinta kasih. Anak-anaknya akan didorong untuk dapat melepaskan diri (self-detach) secara berangsur-angsur dari ketergantungan terhadap keluarga .

Santrock (1985) berpendapat bahwa kualitas pola interaksi dan gaya pengasuhan orangtua yang authoritative akan memunculkan keberanian, motivasi dan kemandirian anak-anaknya dalam menghadapi masa depannya. Gaya pengasuhan seperti ini dapat mendorong tumbuhnya kemampuan sosial, meningkatkan rasa percaya diri, dan tanggungjawab sosial pada anak remaja.

Para remaja yang hidup dalam keluarga yang authoritative akan menjalani kehidupannya dengan rasa penuh semangat dan bahagia, percaya diri, dan memiliki pengendalian diri dalam mengelola emosinya sehingga tidak akan bertindak anarkis (Baumrind, 1967). Mereka juga akan memiliki kemandirian yang tinggi, mampu menjalin persahabatan dan kerja sama yang baik, memiliki kematangan sosial dalam berinteraksi dengan keluarga dan lingkungannya.

3. Permissive

Pola-pola perlakuan orangtua saat berinteraksi dengan anaknya dengan memberikan kelonggaran atau kebebasan kepada anaknya tanpa kontrol atau pengawasan yang ketat merupakan bentuk atau gaya pengasuhan yang permissive.

Orangtua yang permissive akan memberikan kebebasan penuh kepada anak-anaknya untuk bertindak sesuai dengan keinginan anaknya. Sekiranya orangtua membuat sebuah peraturan tertentu namun anak-anaknya tidak menyetujui atau tidak mematuhinya, maka orangtua yang permissive cenderung akan bersikap mengalah dan akan mengikuti kemauan anak-anaknya.

Ketika anak-anaknya melanggar suatu peraturan di dalam keluarga, orangtua yang permissive jarang menghukum anak-anaknya, bahkan cenderung berusaha untuk mencari pembenaran terhadap tingkah laku anaknya yang melanggar suatu peraturan tersebut. Orangtua yang seperti demikian umumnya membiarkan anaknya (terutama anak remajanya) untuk menentukan tingkah lakunya sendiri, mereka tidak menggunakan kekuasaan atau wewenangnya sebagai orangtua dengan tegas saat mengasuh dan membesarkan anak remajanya .

Sedikit, atau bahkan tanpa menggunakan kontrol terhadap anak remajanya, lemah dalam cara-cara mendisiplinkan anak remajanya merupakan ciri dari gaya pengasuhan dari orangtua yang permissive. Gaya pengasuhan demikian dipilih oleh orangtua yang permissive karena mereka menganggap bahwa remaja harus memiliki kebebasannya sendiri secara luas, bukan harus dikontrol oleh orang dewasa (Baumrind, 1967). Orangtua yang permissive bersikap lunak, lemah dan pasif dalam persoalan disiplin. Mereka cenderng tidak menempatkan tuntutan-tuntutan pada tingkah laku anak remajanya, memberikan kebebasan yang lebih tinggi untuk bertindak sesuai dengan kehendak anak remajanya sendirinya. Kontrol atau pengendalian yang ketat terhadap remaja menurut pandangan orangtua yang permissive adalah sebuah pelanggaran terhadap kebebasan yang dapat menganggu perkembangan seorang remaja (Steinberg, 1993)

Menurut Baumrind (1971), remaja yang berada dalam pengasuhan orangtua yang permissive sangat tidak matang dalam berbagai aspek psikososial. Mereka sulit mengendalikan desakan hati (impulsive), tidak patuh, dan menentang apabila diminta untuk mengerjakan sesuatu yang bertentangan dengan keinginan-keinginan sesaatnya. Mereka juga terlalu menuntut, sangat tergantung pada orang lain, kurang gigih dalam mengerjakan tugas-tugas, tidak tekun dalam belajar di sekolah. Tingkah laku sosial remaja ini kurang matang, kadang-kadang menunjukkan tingkah laku agresif, pengendalian dirinya amat jelek, dan tidak mampu mengarahkan diri dan tidak bertanggung jawab
Meskipun di satu sisi gaya pengasuhan yang permissive dapat memberikan remaja kebebasan bertingkah laku, namun di sisi lain tidak selalu dapat meningkatkan tingkah laku bertanggung jawab. Remaja yang mendapatkan kebebasan tanpa adanya pembatasan yang jelas cenderung bersifat suka menang sendiri dan mengutamakan kepentingan dirinya sendiri. Kurangnya bimbingan dan pengarahan dari orangtua menyebabkan mereka merasa tidak aman, tidak punya orientasi, dan penuh keraguan. Jika remaja menafsirkan bahwa kelonggaran pengawasan dari orangtua mereka sebagai bentuk dari tidak adanya perhatian atau penolakan terhadap diri mereka, maka mereka akan menyalahkan orangtuanya sebab dipandang telah lalai memperingatkan dan menuntun mereka .

4. Uninvolved/neglectful

Gaya pengasuhan uninvolved/neglectful adalah gaya pengasuhan dimana orang tua tidak mau terlibat dan tidak mau pula pusing-pusing dengan kehidupan anaknya. Gaya pengasuhan orangtua yang uninvolved lebih berdampak buruk dibandingkan dengan gaya pengasuhan yang permissive karena tidak adanya ikatan emosi ditambah dengan penerapan batasan yang kabur. Orangtua yang demikian hanya fokus pada penyediaan kebutuhan materi/fisik saja terhadap anak-anaknya, pemenuhan kebutuhan immateri/psikis anaknya terabaikan atau bahkan sama sekali tidak pernah diperhatikannya, padahal kebutuhan immateri/psikis seorang anak lebih penting dari sekedar pemenuhan kebutuhan materi/fisik.

Anak dari orangtua yang memiliki gaya pengasuhan uninvolved, ketika mereka tumbuh menjadi remaja, biasanya sering mencari pelarian dari rasa kesepiannya dengan cara mencari penerimaan dari orang lain. Akibatnya mereka seringkali terlibat dalam masalah-masalah perilaku dibandingkan dengan anak yang memiliki orangtua dengan gaya pengasuhan authoritative. Masalah perilaku tersebut misalnya perilaku seks bebas, penggunaan obat-obatan terlarang, maupun berbagai bentuk kenakalan remaja lainnya sebagai salah satu cara atau bentuk mereka dalam mencari penerimaan dari orang lain. Secara emosi, remaja yang seperti ini mudah sekali mengalami depresi dan sering merasa ditolak. Dalam banyak kejadian, mereka tumbuh dengan perasaan ingin melawan, menentang, dan rasa marah yang bergejolak kepada orangtuanya karena merasa telah diabaikan dan dikucilkan. Mereka akan mempunyai harga diri yang rendah, tidak punya kontrol diri yang baik, kemampuan sosialnya buruk, dan merasa bukan bagian yang penting untuk orang tuanya. Bukan tidak mungkin serangkaian dampak buruk ini akan terbawa sampai ia dewasa. Tidak tertutup kemungkinan pula anak akan melakukan hal yang sama terhadap anaknya kelak. Akibatnya, masalah menyerupai lingkaran setan yang tidak pernah putus.

D. Penutup

Semua orangtua tentu saja mengharapkan anaknya dapat tumbuh menjadi manusia yang cerdas, bahagia, dan memiliki kepribadian yang baik. Namun harapan tersebut tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Dituntut kesabaran, keuletan dan kesungguhan dari para orangtua agar harapan tersebut dapat terwujud. Salah satu yang perlu diperhatikan oleh orangtua adalah menerapkan gaya pengasuhan yang tepat agar anaknya dapat berkembang menjadi manusia dewasa seperti yang diharapkan.

Gaya pengasuhan yang authoritative memang dikenal yang paling ideal, tetapi mungkin adakalanya orangtua tak mampu menerapkan gaya pengasuhan seperti itu dengan sepenuhnya terutama pada saat emosi orangtua sedang tidak stabil. Misalnya, ketika sedang mengalami kondisi emosi yang tidak baik/negatif, orangtua cenderung bersikap lebih otoriter terhadap anaknya. Atau misalnya ketika orangtua sedang merasa senang karena usaha/bisnisnya berhasil, maka orangtua cenderung bersikap agak permisif terhadap anaknya.

Kondisi ini, menurut Mayke (http://www.tabloidnakita.com/Khasanah/ khasanah 06279 - 08.htm), masih manusiawi karena memang emosi manusia cenderung naik turun. "Yang penting, sikap orang tua masih dalam situasi terkontrol, maksudnya segera menyadari dan kembali pada rambu-rambu yang telah ditetapkan," tambahnya. Ada kemungkinan dalam kondisi tertentu orang tua memang harus bersikap tegas bila berhubungan dengan keselamatan jiwa anak atau orang lain. Misalnya ketika anak ingin bermain kabel yang dialiri listrik. Bila hal ini didiamkan, tentu dapat membahayakan jiwanya. Mau tidak mau orang tua harus bersikap otoriter, pada saat kondisi demikian, katakan lah: “tidak” kepada si anak bahwa hal itu tidak boleh dilakukannya.

Sehubungan dengan gaya pengasuhan orangtua dalam rangka memandirikan para remaja, maka hal yang terpenting diketahui oleh para orangtua bahwa seorang remaja lebih membutuhkan dukungan dari sekedar pengasuhan, seorang remaja lebih membutuhkan bimbingan dari sekedar perlindungan, seorang remaja lebih membutuhkan pengarahan dari sekedar sosialisasi, dan seorang remaja dalam kehidupannya lebih membutuhkan perhatian dan kasih sayang (kebutuhan psikis) daripada sekedar pemenuhan kebutuhan fisik belaka.

Rabu, 22 Juni 2011

KONSEP PENDIDIKAN ALA KITAB TA'LIM

KONSEP PENDIDIKAN DALAM KITAB "TA'LIM MUTA'ALIM"
DAN RELEVANSINYA DENGAN DUNIA PENDIDIKAN DEWASA INI

Oleh: M.Fuad Maksuf From K.H.Kholil Bisri Rembang
Tamhid
"Ta'limul Muta'alim" adalah kitab kecil –biasanya saya khatamkan dalam enam atau tujuh hari saja di bulan Romadlon, dengan tempo baca sekitar satu jam setiap hari– hasil rangkuman Syaikh Az-Zarnuji, yang belum mengenal tradisi pesantren, tentu melontar kritik tajam terhadapnya. Dianggapnya kitab yang penuh kontroversi, berisi teror sadis kepada pencari ilmu, tidak masuk akal pembangkit kultus dan sebagainya, bukan lainnya "Ta'limul Muta'alim" itu tapi kitab itu masih saja terus dibaca di pesantren salaf manapun.
Sebelum saja beranjak menguak sedikit isi, seluk beluk dan relevansi kitab TMT, saya ingin menguak dahulu sebuah rahasia yang biasanya hanya disimpan saja di hati para kiyai. Yang rahasia itu hakikatnya adalah inti sari dari kitab TMT tersebut. Begini:
Keberhasilan seseorang mendapat anugerah ilmu nafi’' dan muntafa' bih adalah karena melibatkan tiga faktor yang sangat dominan, yaitu: Pertama, Fadhol dari Allah, karena memang diajar oleh-Nya (alladzi 'allama bil qolam. 'Allamal insaana maa lam ya'lam). Untuk memperoleh fadhol ini, orang harus berdo'a atau dido'akan. Do'a itu harus sungguh-sungguh dan disertai kesungguhan. Tidak boleh dipanjatkan dengan seenaknya dan mengesankan tidak begitu membutuhkan wushulnya do'a, dengan cara misalnya, disamping berdo'a orang juga berbuat maksiat, sama sekali tidak berusaha menghindar dari keharaman yang dilarang. Fa anna yustajaabuu lah. Kedua, Belajar sungguh-sungguh, rajin mengaji dan mengkaji, tekun mengulang dan muthola'ah. Sebuah maqolah yang sering disebut hadits menegaskan "Man tholaba syaian wajadda wajada wa man qoroal baba wa lajja walaja". Siapa saja yang mencari sesuatu dan sungguh-sungguh, dia akan mendapatkannya. Dan barang siapa mengetuk pintu dan dia mengamping, maka dia masuk ke dalam (rumah). Secara implisit firman Allah yang biasanya untuk mendalili orang muslim yang tidak perlu ragu terjun dalam perjuangan: "Walladzina jaahaduu fiinaa lanahdiyannahum subulanaa", mengisyaratkan hal yang demikian itu. Ketiga, Menyadong pertularan (atau apa namanya) dari guru kalau mengacu sebuah pameo "atthob'u saroq" tabiat, watak, karakter itu mencuri, maka kedekatan seseorang dengan orang lain mengakibatkan penularan yang niscaya mengacu sunnah Allah, dia yang lemah akan tertulari yang lebih kuat. Murid akan tertulari dari sang guru.
Pada kenyataannya, seberapa besar nafi' dan muntafa' bihnya ilmu yang diperoleh oleh tholib tergantung pada seberapa besar kadar ketiga faktor itu diupayakan, diayahi dan menghasilkan. Ada satu faktor lagi yang oleh TMT diisyaratkan pula sebagai salah satu sebab seseorang berhasil mendapatkan ilmu dan yang belakangan ini dilakukan oleh orang tua tholib. Bagi orang tua tholib yang menyikapi secara santun kepada ahli ilmi, kepada siapa tholib "ngangsu ilmu", anaknya atau cucunya niscaya akan menjadi orang alim. Memang tidak ada dalil yang mengukuhkan analisis tersebut. Namun secara empiris bapak saya (almaghfurlah KH. Bisri Musthofa) merasakan itu. Ilmu yang dimaksud adalah ilmu Allah yang memperolehnya dianjurkan (untuk tidak mengatakan diharuskan) melalui sanad (sandaran) yang jelas. Baik sya fawiyyan maupun ijaziyyan. Supaya manfa'at ilmu itu secara ritualistik mendapatkan legalisasinya. Karena manfa'at adalah asas yang mendasari kesungguhan tholibil 'ilmi.
Tholabu ilmillah, mencari ilmu Allah jelas wajib hukumnya. Mencari ilmu al-hal wajib (fardhu) 'ain dan selebihnya wajib (fardhu) kifayah. Dengan demikian mencari ilmu, tholabul ilmi adalah amal ibadah. Dari pendirian keibadahan tholabil ilmi inilah saya mendekati kitab "Ta'limul Muta'alim".

Sistimatika Ta'limul Muta'alim
Kitab kecil yang terdiri dari tiga belas fasal itu, separonya bersifat umum, membicarakan bagaimana seharusnya orang sebagai makhluk hidup mengarungi kehidupan.
Seperti lazimnya kitab kecil yang berbobot keilmuan, fasal awal mencoba memberi batasan terhadap apa saja yang berkaitan dengan isi kitab.
Tentang ilmu, keutaman-keutamaannya, bagian-bagiannya dan cara yang seharusnya untu menghasilkan ilmu itu. Karena mencari ilmu itu ibadah, niat tholabul ilmi yang faridhotun itu tidak boleh ditinggalkan. Tentu saja yang dilakukan tholib agar mendapatkan pahala disamping dimaksudkan pula untuk memicu dan memacu semangat pencarian, menangkal pembiasaan, menjaga koinsistensi, menuntun keberhasilan dan tujuan ritualistik yang lain. Dari sinilah seharusnya kandungan kitab TMT didekati sehingga tuduhan kurang menyenangkan atas TMT dihindari. Melakukan niat tholabil ilmi ini diurai pada fasal dua, anniyah fi haalit ta'allumi.
Pada fasal ketiga dikemukakan perlunya selektif dalam memilih ilmu, guru dan teman bermusyawarah sebelum terjun kedalam kancah ta'allum. Pada fasal ini muncul keharusan menjaga terus minat ta'allum, konsistensi dan tabah dalam tekun terhadap ilmu yang dipelajari dan dialami. Karena memang ilmu yang dipelajari, guru yang mengajar,dan teman yang bersamanya mandalami ilmu itu, dipilihnya sendiri secara selektif itu tadi.
Fasal berikutnya yang membuat pakar ilmu masa kini seolah-olah kebakaran jenggot, adalah tentang kewajiban ta'dhim terhadap ilmu itu sendiri dan ahli ilmu.
Fasal keenam adalah tentang bagaimana seharusnya mencari ilmu berbuat. Dia harus sungguh-sungguh dan disiplin. Kesungguhannya itu menopang diatas cita-cita yang luhur.
Memulai (starting) terjun, memperkirakan kemampuan dan tertib belajar sesuai dengan kondisi diri dan ihwal ilmu yang diterjuni adalah bahasan fasal ketujuh.
Tawakkal, kapan seyogyanya tholibul ilmi, berusaha menghasilkan, ramah dan setia terhadap cita-cita, tidak melewatkan waktunya dan istifadah (membuat catatan-catatan baik dalam tulisan maupun benak), waro' (menjaga makanan dan perbuatan yang dilarang untuk tidak disantap atau dilakukan), apa saja yang membuat orang mudah menghafal dan yang mudah membuat orang gampang lupa dan yang terakhir adalah tentang amalan dan bacaan yang membuat pelakunya tercurahi rizqi Allah. Itu semua adalah pasal kedelapan sampai ketigabelas.
Asas manfaat yang mendasari keibadahan tholabil 'ilmi sebagai pendekatan. Pada awal coret-coret ini, saya mengemukakan bahwa ilmu nafi' yang muntafa' bih adalah anugerah dari Allah yang "allamal insaana maa lam ya' lam". Manfaat dan guna yang didapat oleh orang yang memperoleh keuntungan dari ilmu itu, tidak hanya didunia ini saja, namun juga akhiratnya. Karena itu untuk menghasilkan ilmu yang bermanfaat, tidak hanya menghajatkan peranan dari pencari ilmu itu sendiri. Peranan Allah dan peranan perantara guru dimana orang berhasil mandapatkan ilmu, sama sekali tidak bisa dipisahkan. Hal-hal (baca: a'mal) yang melibatkan Allah SWT. Demi perkenan-Nya, ridho-Nya, kita menyebutnya ibadah.
Ibadah sebagaimana amal-amal lain, ada permulaannya, prosesnya dan akhirnya. Masing-masing menghajatkan pada pemenuhan aturan main yang telah ditetapkan agar yang dilakukannya tidak sia-sia dan sah adanya. Apalagi amal ibadah yang bernama tholabil ilmi menempati peringkat diatas qiyamil lail dan puasa sunnah, mengapa? Ya, karena ilmu itulah yang mengantar orang terhormat dan mulia disisi Allah oleh karena ketakwaan, "Inna akromakum 'indallohi atqaakum". Ilmu adalah wasilah untuk takwa dan takwa adalah wasilah mulia 'indallah. Yang mulia 'indalloh tentu mulia 'nda siwahu min kholqihi.
Ilmu yang menjadi washilah kepada takwa itulah yang dapat disebut sebagai ilmu nafi' wa muntafa' bih (ilmu yang bermanfaat).
Berangkat dari sini, kiranya tidak berlebihan manakala kita pertama-tama harus mampu menempatkan kedudukan ilmu sedemikian rupa, sehingga ghoyatun nafi' dan intifa' dapat dicapai oleh tholib. Dan pada tempatnya pula dia bersikap ta'dhim terhadap apa dan siapa yang diharapkannya akan memberi manfaat yang sebesar-besarnya kepada dirinya, dunia dan akhirat. Kendatipun dia secara filsofis terpaksa menentukan klasifikasi ta'd'him itu. Tergantung pada siapa dia harus berlaku ta'dhim.
Memang pada dasarnya sifat batin adalah sifat bathini, karenanya tidak transparan. Tampilannya bisa beberapa bentuk sesuai dangan keadaan. Keadaan mu'adhdhim dan mu'adhdhom itu sendiri, latar belakang keduanya dan seterusnya.

At-Ta'dhim
Tampilan ta'dhim yang beraneka bentuk itu tentu saja tidak boleh keluar dari batas —layak— wajar. Karena memang ta'dhim bagi tholib adalah kewajaran, sesuatu yang layak dilakukan terhadap yang ia merasa harus menta'dhimkannya. Dan merupakan garapan tholibul ilmi untuk mengartikulasikannya dalam ia memilih tampilan ta'dhim, dilakukannya dengan kesungguhan dan sepenuh hati. Tidak kemudian terperangkap kedalam bentuk yang sering kita dengar dengan sebutan mudahanah atau mujahalah belaka. Lamis dan menjilat, semu dan tak bermakna.
Untuk itu tholib harus pandai dan cermat menentukan pilihan ilmu apa yang paling baik yang harus dia cari. Sesuai dengan minat dan bakatnya. Bahkan ketika bergurupn dia tidak dibenarkan sembarangan dan asal-asalan. Pilihan ang ditentukan sendiri akan lebih mendorongnya kepada kesungguhan ta'dhim. Oleh TMT kesungguhan ta'dhimil ilmi dirupakan dengan tidak menjamah kitab yang berisi kandungan ilmu itu, kecuali dalam keadaan suci dari hadats. Sebelum dia muthola'ah, mengaji atau mengulang pelajaran, berwudhu lebih dahulu. Sebab ilmu itu nur dan wudhu mewujudkan nur pada diri. Tidak menaruh kitab sejajar, apalagi di bawah bokong. Dan seterusnya. Sedang ilmu yang sebaiknya dipilih oleh tholib secara klasifikasial adalah yang dia hajatkan mendesak bagi urusan agamanya, yang dibutuhkan untuk menuntun kebahagiaan masa depan (bahkan depan sekali yaitu ketika kelak harus menghadap kholiqnya) dan dihajatkan bagi mengatur hidupnya dunia akhirat.
Dalam hal tholib memilih guru, kalau ada, pilih yang mengumpulkan kealiman yang kealimannya dimasyhurkan sebagai handal (al a'lam) yang secara khuluqi, mengatur kehidupan keseharian sedemikian rupa sehingga tidak terkena imbas aib sosial, menjauhi kedurhakaan dan maksiat serta menjaga muru'ah (al-auro’) dan yang memiliki nilai lebih dalam kematangan ilmu dan amalnya serta lebih tua usianya daripada ulama (kiyai) lain (al-asann). Hal ini barangkali dimaksudkan agar tertancap pada diri tholib kemantapan berguru. Dengan demikian tanpa ragu-ragu lagi, tholib bersikap ta'dhim kental kepada gurunya itu. Oleh TMT, dicontohkan dengan tidak ngomong kalau tidak didangu tidak bergeser tempat duduk sebelum sang guru beranjak dari tempatnya, tidak terlalu dekat dan tidak pula terlalu jauh dari guru, ketika didangu tidak berulah yang menyebabkan guru terganggu. Mematuhi segala perintahnya apapun bentuknya. Dan seterusnya. Ta'dhim ini berlanjut kepada keluarga sang guru. Pendek kata tidak membuat guru tertekan (diantara tanda kutip) secara moral ta'dhim kepada guru ini, dilakukan oleh tholib untuk mendapat perkenannya. Bukankah gurupun harus memberi dengan sifat kasih dan sepenuh hati pula? Bukankah pemberin itu wasilah untuk mendapatkan dan menghantarkannya kepada "raf'ad darojat"?
Oleh TMT guru disamakan dengan dokter (thobib). Kalau dia tidak dihormati, dia tidak akan memberi yang terbaik yang sangat dibutuhkan murid atau pasien itu, meskipun dia (pura-pura) memeriksanya dan menuliskan resep. Melengkapi hujjah TMT adalah sebuah ungkapan, yaitu: “Maa washola man washola illa bilhurmati wat ta'dhim, wa maa saqotho man saqotho illa bitarkilhurmati wat ta'dhim”.
Melakukan pilihan sendiri secara cermat terhadap ilmu dan guru dimaksudkan agar tholib tidak meninggalkan ilmu dan gurunya itu, sebelum dia dinyatakan selesai dalam berguru. Sebab meninggalkan ilmu dan guru sebelum saat dinyatakan selesai adalah desersi dan itu sangat menyakitkan. Dengan demikian sulit ilmu yang sudah dia kuasai bermanfaat. Memilih rekan adalah suatu yang tidak boleh di abaikan oleh tholib. Rekan itu harus serasi, yang mau dan mampu diajak rembugan, musyawarah, berakhlak terpuji. Pendek kata dia harus serekan yang kebaikaannya bisa kamu curi. Sebab "at thob'u saroqo", tabiat itu pasti mencuri, punya dampak dan sangat mempengaruhi perilaku dan penilaian.

Layaqoh Ma'hudah
Untuk menyikapi ilmu, guru dan rekan yang seperti tersebut diatas, untuk menganggap sikap ta'dhim ala TMT berlebihan atau tidak, untuk mengatakan sikap-sikap TMT relevan atau tidak kaitannya dengan sistem pendidikan dewasa ini tergantung dimana sebenarnya seseorang (sebagai tholib) menempatkan dirinya dalam kedudukan dan peranan apa, menurut anggapan tholib, guru berpengaruh pada "pembentukan diri". Seberapa besar guru memberi manfaat pada kehidupan tholib. Sampai sejauh mana jangkauan tholib mengapa dia melengkapi diri dengan ilmu itu.
Barangkali bisa saya katakan bahwa substansi pendidikan (yang bahasa kitabnya at-tarbiyah dari "madhi" robba yang maknanya " memberangkatkan pagi-pagi" atau "memperkembangkan sejak mula", sejak ditanam bagi tanaman dan sejak masa pertumbuhan bagi anak manusia) adalah menggarap jiwa anak manusia menurut fitrahnya adalalah bersih-bersih bagaikan kertas putih dia bisa ditulisi, dilukis, dicoret-coret atau diapakan saja bahkan disobek-sobek. Ditarbiyah dengan demikian bisa diusulkan untuk berarti: “tughda wa tunsau kama hiya makhluqotun bihi bighoiri taghyiri wa thawili majraha, dibiarkan berangkat dan beranjak tumbuh sesuai dengan fitrahnya tanpa harus dibiasakan dari alur yang semestinya dengan menuntun dan memberi contoh yang diinginkan serta memberi warna yang seindah-indahnya sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh dia yng dididik. Sehingga tertanam pada dirinya haiah rosikhoh tashduru min halil af 'aal.
Sasaran pendidikan dengan demikian adalah jiwa. Jiwa lebih peka terhdap rasa yang
jelas tidak nyata. Kebesaran jiwa tidak nyemumuk seperti halnya kecahayaan ini tidak membinar. Namun kebesaran dan kecahayaan itu dapat dirasakan. Membentuk kebesaran dan kecahayaan itu bisa efektif bila dengan perangkat kedekatan rasa pula. Kedekatan rasa yang dijalin antara guru dan tholib dengan tali Allah dan tali rohmah ini akan menjalin keberhasilan amal tarbiyah. Tarbiyah yang diarahkan kepada ketaqwaan. Wallahu 'alam.
Kita mengerti sepenuh bahwa: menggarap sesuatu itu tergantung kepada apa yang digarap. Sepanjang yang digarap tidak berubah, pola dan format garapan tidak perlu dirubah kefitrahan manusia. Pada dasarnya tidak pernah dirubah, karena itu relevansi konsep yang telah disepakati sebagai ideal, efektif dan menjanjikan bagi menggarap jiwa manusia, belum layak dipersoalkan. Kalaupun dalam kenyataannya terjadi perubahan profil, kemencegan tampilan dan fariasi lagak gaya akibat pengaruh makanan dan lingkungan, tinggal menyesuaikan cara penanganan saja.

At- Talkhis Al Mudawwan
1. Mencari Ilmu harus dengan niat menghilangkan kebodohan untuk selanjutnya menggapai ridha Allah.
2. 2. Mencari dengan terjun kelubuk pendidikan, berarti mencurahkan segala yang ada pada diri untuk mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya.
3. Ilmu yang kelak diperoleh harus mejadi wasilah menuju kepada takwa, yang tentu akan mengangkat derajat mulia disisi Allah.
4. Ilmu adalah cahaya, anugerah dan karunia Allah, yang untuk mencapainya antara lain lewat perantaraan guru. Kalaupun tanpa guru yaitu dengan membaca, menurut konsep Al-Qur'an harus dengan atas nama Allah.
5. Ilmu yang membuat orang mulia dan terhormat, dan mencurahkan manfaat yang sebesar-besarnya itu, sangat pada tempatnya untuk dita'dhimkan. Adalah terjemahan dari rasa terima kasih yang besar dan penghargaan yang mendalam.
6. Menta'dhimkan guru sebagai rasa terima kasih yang nota bene ahlul ilmi itu adalah pada tempatnya, sangaat layak dan terpuji. Dan adalah berarti menta'dhimkan ilmu itu sendiri.
7. Menta'dhimkan harus berarti pula tidak membuat yang bersangkutan merasa tertekan dari arah manapun, langsung atau tidak langsung.
8. Ta'dhim bukanlah ta'abbud. Namun bisa saja laku ta'dhim karena menjalankan perintah syari'. Menjalankan perintahnya berarti juga ta'abbud.
9. Mencari ilmu dengan konsep TMT membuat tholib sadar posisi dan ikhlas.

At-Talkhis Al-Mu'abbar
Barangkali oleh karena Az-Zarnuji melihat kependidikan itu dengan kaca mata keteladanan, meskipun secara emphiris dapat dibuktikan, maka yang tertuang terkesan berlebihan. Andaikata saya tidak khawatir disebut sebagai su’ul adab, saya akan mengatakan bahwa TMT adalah kerangka acuan hasil temuan atau rangkuman pengalaman ahlil ilmi dan belum disusus seperti layaknya konsep.
Namun secara kualitatif memiliki bobot yang efektif sebagai pedoman untuk menciptakan dunia pendidikan yang ideal yang masih sangat mungkin diterapkan kapan saja. Oleh karena itu, saya memberanikan diri untuk menganggap isi kitab TMT masih sangat relevan untuk diterapkan pada dunia pendidikan dewasa ini, sepanjang format belum berubah.
Tentang hubungan pendidik anak didik, guru murid, kiyai santri, pemberi manfaat penerima manfaat, dan seterusnya, adalah wajar dan memenuhi tuntunan ajaran serta tuntunan keorangan apabila terjalin tali keeratan yang terbuhul atas dasar filosofi sadar posisi bagi masing-masing. Dan itu harus dipertahankan kelanggegnannya agar pengawasan batini dapat dilakukan terus menerus.
Kelanggengan hubungan antar dua kutub tersebut hanya dapat dicapai dengan keikhlasan yang putih.

Takhtim
Alur yang dipilih Az-Zarnuji untuk mengalirkan gagasan beliau, saya kira sudah memenuhi aspek muthobaqoh tadhomun maupun iltizam. Dan itulah hasil pendilalahan yang benar dari lafal: at-tarbiyah.
Pada kurun masa segala aspek tata kehidupan sudah bergeser seperati sekarang ini dan menjelang berlakunya era indrustrialisasi, saya kira konsep yang ada pada kandungan TMT, sebaiknya didukung untuk disosialisasikan dan dikembangkan secara adapatatif. Dengan melibatkan para pakar disiplin ilmu tertentu dan penambahan tata nilai. Sebab dapat saja saya mengatakan: untuk membentuk generasi penerus yang terdidik lagi bertakwa kepada Allah SWT. Belum ada pedoman khususnya selain kitab TA'LIMUL MUTA'ALIM.


Dikutip dari Makalah yang beliau sampaikan di Pondok Pesantren Al-Hamidiyyah Jakarta.

Siap

Siap