Jumat, 28 Januari 2011

mts -ku













KEPEMIMPINAN IDEAL PERADILAN AGAMA


A. Pembukaan
Berbagai macam versi dan pandangan tentang pengertian kepemimpinan, namun secara umum kepemimpinan banyak diartikan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi untuk mendapatkan pengikut. Secara etimologi kepemimpinan diartikan juga sebagai khilafah, imamah, imarah, yang memiliki makna daya memimpin atau kualitas seorang pemimpin atau tindakan dalam memimpin, sedangkan secara terminologinya, kepemimpinan adalah suatu kemampuan untuk mengajak orang lain agar mencapai tujuan-tujuan tertentu yang telah ditetapkan. Di samping itu dari berbagai sumber terdapat beberapa definisi tentang kepemimpinan, misalnya Jacobs dan Jacques (1990) mengartikan kepemimpinan sebagai suatu proses yang memberi arti (penuh arti kepemimpinan) pada kerjasama dan dihasilkan dengan kemauan untuk memimpin dalam mencapai tujuan. Kepemimpinan dalam versi lain adalah suatu proses yang mempengaruhi aktifitas kelompok yang diatur untuk mencapai tujuan bersama (Rauch & Behling :1984), sedangkan pandangan lainnya mengartikan kepemimpinan sebagai sikap pribadi, yang memimpin pelaksanaan aktivitas untuk mencapai tujuan yang diinginkan (Shared Goal, Hemhiel & Coons : 1957). Kemudian ada juga yang mendefiniskan kepemimpinan sebagai pengaruh antar pribadi, dalam situasi tertentu dan langsung melalui proses komunikasi untuk mencapai satu atau beberapa tujuan tertentu (Tannebaum, Weschler & Nassarik : 1961).
Secara umum kepemimpinan berarti upaya untuk mentransformasikan semua potensi yang terpendam menjadi kenyataan. Tugas dan tanggung jawab seorang pemimpinan adalah menggerakkan dan mengarahkan, menuntun, memberi motivasi serta mendorong orang yang dipimpin untuk berbuat sesuatu guna mencapai tujuan, sedangkan tugas dan tanggung jawab yang dipimpin adalah mengambil peran aktif dalam mensukseskan pekerjaan yang dibebankannya. Tanpa adanya kesatuan komando yang didasarkan atas satu perencanaan dan kebijakan yang jelas, maka rasanya sulit diharapkan tujuan yang telah ditetapkan akan tercapai dengan baik, bahkan sebaliknya yang terjadi adalah kekacauan dalam pekerjaan. Inilah arti penting komitmen dan kesadaran bersama untuk mentaati pemimpin dan peraturan yang telah ditetapkan. Ketika seseorang diangkat atau ditunjuk untuk memimpin suatu lembaga atau institusi, maka ia sebenarnya mengemban tanggung jawab yang besar sebagai seorang pemimpin yang harus mampu mempertanggungjawabkannya. Tanggung jawab ini bukan saja di hadapan manusia, akan tetapi (sebagai orang bergama) juga di hadapan Tuhannya, sebagaimana hadits Nabi, “tiap-tiap kita adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya atas apa yang dipimpinnya”. Oleh karena itu, jabatan dalam semua level atau tingkatan bukanlah suatu keistimewaan sehingga seorang pemimpin atau pejabat tidak boleh merasa menjadi manusia yang istimewa sehingga ia merasa harus diistimewakan dan ia sangat marah bila orang lain tidak mengistimewakan dirinya. Pada dasarnya manusia secara fitrawi memiliki sifat yang baik, jujur dan berketuhanan serta memiliki rasa keadilan. Akan tetapi juga memiliki syahwat dan nafsu yang cenderung menuntut pemuasan mendesak. Untuk menggapai kebaikan, orang harus berpikir dalam dan jauh, sementara keburukan justru menggoda dengan argumen praktis. Peristiwa inilah yang biasanyaa menghampiri para pemimpin dan pemegang amanah. Sadar atau tidak setiap manusia adalah pemimpin dan pengikut yang keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Menjadi pemimpin adalah merupakan amanah dan menjadi pengikut adalah dalam rangka menjalankan amanah. Pemimpin sejati adalah senantiasa melahirkan pengikut yang berada pada fitrawi manusia hingga pada akhirnya kepemimpinannya tidak lekang oleh masa dan tidak usang oleh zaman serta tidak punah hingga hari akhir kelak.
Kepemimpinan dalam lingkungan peradilan pada dasarnya tidak begitu berbeda dengan kepemimpinan dalam lingkungan institusi publik lainnya. Pada institusi publik, kepemimpinannya tidak berada pada/bertitik sentral pada satu orang individu karena masih berorientasi pada sifat kolektifitas dengan melibatkan seluruh unsur struktural suatu organisasi. Pada sisi itu sekalipun tanggung jawab ada pada pucuk pimpinan akan tetapi pucuk pimpinan tidak menggambarkan profil kepemimpinan yang mewarnai seluruh struktural. Sedangkan pada lingkungan peradilan, kepemimpinan tidak bersifat kolektif sekalipun terdapat institusi struktural. Kepemimpinan berpusat pada pimpinan pengadilan (Ketua), karena pengambilan keputusan di bidang tugas pokoknya. Dalam kondisi beda pendapat pimpinan pengadilan mempunyai kewenangan untuk memberi arah jalannya suatu penyelenggaraan peradilan. Hal itu tidak turun kepada instrumen struktural, tetapi diinterpretasikan melalui pimpinan ketua majelis pada penyelenggaraan peradilan.

B. Pemimpin Laksana Pohon
Pohon yang baik adalah pohon yang tumbuh sehat, kuat, dan memberi banyak manfaat. Untuk menjelma memenuhi kriteria tersebut, keberadaan pohon hingga menjadi pohon yang diidamkan, harus melalui proses yang panjang, selektif dan penuh perhatian. Guna mendapatkan pohon yang baik, diperlukan benih yang baik yang diperoleh di samping dibutuhkan benih unggul, juga harus melalui proses seleksi yang ketat dan cermat. Setelah diperoleh benih unggul pilihan, selanjutnya benih disemai ditempat (areal) yang terpilih pula. Areal harus tanah yang subur (seteril/bebas hama), kondisi alam harus disesuaikan dengan benih yang disemai, waktu tanam (semai) yang sangat tepat, serta perkiraan masa ngunduh (memanen) yang diprediksi secara tepat pula. Pada tahapan persemaian, benih pohon harus dirawat intensif, sabar dan hati-hati, sebab tidak dijamin sepenuhnya dari benih unggul yang telah disemai bisa dipastikan akan diperoleh hasil (panen) yang unggul pula, akan tetapi dengan pelaksanaan ikhtiar yang baik akan dapat diperoleh panen yang diharapkan. Hasil persemaian kelak akan menjelma menjadi bibit, selanjutnya bibit-bibit itu dipindahtempatkan, ditanam secara terpisah. Sebagaimana proses persemaian, pada tahapan penanaman benih juga mutlak diperlukan penanganan secara intensif pula, bahkan untuk menghindari kematian bibit dan merawat agar bibit tetap tumbuh sehat, pada tahapan ini justru membutuhkan perhatian ekstra melebihi tahapan persemaian, termasuk kemungkinan penjarahan dari pihak yang tidak bertanggung jawab yang berakibat hilangnya bibit-bibit dan/atau sekedar tercerabut dari akarnya, sehingga bibit-bibit ini dibutuhkan proteksi yang ketat, hingga bibit-bibit ini memiliki kemampuan untuk tumbuh berkembang dan akarnya relatif kuat. Bibit-bibit yang telah dirawat secara intensif kelak akan menjadi pohon yang akarnya kuat, batang dan rantingnya menjulang, serta menghasilkan buah yang senantiasa bermanfaat kepada makhluk sekitarnya. Kiranya falsafah tumbuhan ini tepat sebagai ilustrasi proses terbentuknya kepemimpinan yang idel, artinya seorang pemimpin harus dipersiapkan jauh hari. Seorang pemimpin kelak bisa dilihat bagaiman karakter dirinya terbentuk pada masa lalu, mulai dari genetiknya, lingkungannya, bahkan lebih dari itu bagaimana latar belakang kehidupan dan peri kehidupan seseorang yang akan dipersiapkan sebagai pemimpin masa depan atau bagaimana masa lalu seorang yang saat ini sedang memimpin. Pohon yang baik yang bisa dijadikan i’tibar bagi sebuah kepemimpinan, memiliki 3 (tiga) kriteria, yaitu akar yang kuat, batang dan rantingnya menjulang (lempang), serta pohon yang dapat memberikan buah yang bermanfaat sepanjang masa.
Dalam konteks kepemimpinan ideal, sesorang harus memiliki tiga dimensi kepribadian, pertama dimensi basis kekuatan, artinya seorang pemimpin harus memiliki dukungan penuh dari akar rumputnya (grassroot), sehingga ia tidak akan mudah goyah dan digoyahkan. Pengakuan, dukungan dan kekuatan dalam dimensi ini, sudah barang tentu bukan karena faktor pencitraan semata, akan tetapi lebih dari faktor karakter dan latar belakang (background) yang dimiliki si pemimpin, karenapemimpin seperti ini sejatinya lahir dari buah persemaian yang terpola dan ketat, bisa dibayangkan jika dimensi ini tidak dimiliki atau basis kekuatan tidak mendukung secara memadai, ibarat tumbuhan akarnya tidak kuat dan akan sangat mudah tercabut dari habitatnya. Dimensi kedua adalah memiliki integritas, artinya seorang pemimpin yang benar-benar paham terhadap zamannya. Ibarat tumbuhan batang dan ranting yang telah tumbuh dari bawah, pada pase tertentu ia telah teruji oleh serangan hama dan terpaan badai, sehingga semakin ia selamat bertahan semakin tangguh menghadapi problema (tahan uji). Ia juga berpengalaman pada masa lalu, memahami karakteristik zaman yang sedang dilalui serta siap menatap masa depan dan tantangan (transformatif), tidak stagnan apalagi berjalan mundur. Pemimpin yang berdimensi ini memiliki integritas berwatak tidak oportunis, tidak menjilat, tidak korup dan tidak ABS, karena sejatinya karakter kepemimpinan seperti ini benar-benar memiliki arus bawah yang tak tergoyahkan, sehingga pada dirinya mengalir karakter mengayomi massanya. Karekter pemimpin ini juga berjalan lurus ke atas, senantiasa mengharap ridla Allah SWT. Ketiga adalah dimensi memberikan manfaat. Ibarat tumbuhan yang baik adalah yang bisa memberikan buah, bahkan setiap saat dan tak kenal musim (kulla hin), karenanya pemimpin ideal adalah yang selalu dan senantiasa memberikan manfaat kepada pengikutnya dalam makna manfaat yang sangat luas, bukan sekedar manfaat meterial dan berjangka pendek. Pemimpin dalam dimensi ini bisa juga dimaknai selalu memberi manfaat dengan tanpa pamrih balas jasa, apalagi mengharap upeti dari pengikutnya. Ibrah dari pemimpin laksana pohon ini telah terpatri dalam firman Allah surat Ibrahim : 24-25 : “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah memberikan perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat”.

C. Pemimpin Ideal
Menurut House, Spangler, & Woycke (1991), pada pertengahan tahun 1970an, mulai muncul teori-teori baru kepemimpinan, diantaranya adalah teori kepemimpian yang menekankan pada kepribadian pemimpin tersebut. Mulailah dikenal istilah kepemimpinan yang kharismatik, dimana pemimpin tersebut dapat merubah kebutuhan, nilai, prefensi dan aspirasi dari pemilih melalui tingkah laku, kepercayaan dan contoh personal dari dirinya sendiri. Seorang pemimpin yang kharismatik adalah seseorang yang mampu menumbuhkan kepercayaan masyarakat, memiliki kedekatan secara emosional dengan pengikutnya dan mampu membuat pengikutnya berjuang bukan karena berdasar self-interest semata sehingga mereka memiliki motivasi kolektif. Hasilnya, muncul motivasi untuk mencapai tujuan bersama pada masyarakat dan terbentuklah masyarakat yang kuat. Teori ini berusaha mematahkan pandangan bahwa situasilah yang menentukan tipe pemimpin yang akan terpilih. Kepemimpinan adalah sebuah keputusan dan lebih merupakan hasil dari proses perubahan karakter atau transformasi internal dalam diri seseorang. Kepemimpinan bukanlah jabatan atau gelar, melainkan sebuah kelahiran proses panjang perubahan dalam diri seseorang. Ketika seseorang menemukan visi dan misi hidupnya, ketika terjadi kedamaian dalam diri (inner peace) dan membentuk bangunan karakter yang kokoh, ketika setiap ucapan dan tindakaannya mulai memberikan pengaruh kepada lingkungannya, dan ketika keberadaannya mendorong perubahan organisasinya, pada saat itulah seseorang lahir menjadi pemimpin sejati. Jadi kepemimpinan lahir dari proses internal (leadership from the inside out). Knneth Blanchard menyatakan, kepemimpinan dimulai dari dalam hati dan keluar untuk melayani mereka yang dipimpinnya. Perubahan karakter adalah segala-galanya bagi seorang pemimpin sejati. Tanpa perubahan dari dalam, tanpa kedamaian diri, tanpa kerendahan hati, tanpa adanya integritas yang kokoh, daya tahan menghadapi kesulitan dan tantangan dan visi serta misi yang jelas, seorang tidak akan pernah menjadi pemimpin sejati.
Khutbah pertama Umar bin Khaththab seusai dibaiat menjadi khalifah adalah sebagai berikut : “Wahai sekalian umat manusia, aku dipercaya memegang kekuasaan di antara kalian, padahal aku bukanlah yang terbaik di antara kamu. Karenanya, jika aku baik, ikutilah aku, dan jika aku benar, berdirilah kamu sekalian di belakangku sebagai pembela kebenaran, orang kuat di antara kamu jika tidak berada di atas kebenaran adalah lemah di hadapanku, sedangkan orang lemah jika berada di atas kebenaran adalah menjadi kuat di hadapanku, taatlah kamu kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya, dan kamu sekalian tiada berkewajiban mentaatiku jika aku berbuat durhaka”. Pemimpin yang ideal adalah pemimpin yang mau bekerja keras untuk membangun masyarakat yang ideal pula. Filsuf Ali Syari’ati merumuskan sebuah umat dan masyarakat ideal adalah sebagai masyarakat beragama yang menjunjung tiggi ke-Ilahiyah-an Allah, Tuhan Yang Maha Esa dan menghargai kemanusiaan secara merata yang ditandai dengan persaudaraan tanpa kelas dan tanpa tembok pemisah. Kesuksesan sebuah kepemimpinan bukan diukur dari kadar ketakutan dan ketertiban yang berhasil diciptakan terhadap rakyat, tetapi kesuksesan tercermin dalam menjabarkan prinsip kerja keras dalam berinisiatif dan kreatif menemukan solusi untuk mencapai tujuan bersama. Pemimpin biasa diartikan sebagai government, berasal dari kata to govern yang berarti mengurus. Pemimpin sejatinya adalah pelayan (servant/ to serv) yang berarti hamba (servitum/servulus) yang berarti to serve, bekerja layaknya hamba. Untuk dapat mengurus rakyat pemimpin harus memiliki kepekaan terhadap pemenuhan kebutuhan rakyat dan sebagai pelayan rakyat, seorang pemimpin sudah barang tentu harus bersikap rendah hati dan siap menderita (servant hood leadership), karena suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi vox dei). Umar bin Khaththab pernah menasihati kepada Abu Mua Al Asy’ari, gubernur Kufah, sebagai berikut : “Wahai Abu Musa, sesungguhnya kamu adalah seorang diri di antara umat manusia, Tuhan telah menjadikanmu orang yang berat bebannya di antara mereka. Kewajiban orang yang dipercaya memegang kekuasaan urusan umat adalah melaksanakan kewajiban seorang hamba kepada tuannya”.
Sebagai pelayan yang baik, pemimpin haruslah memiliki prinsip-prinsip dasar pelayanan, yaitu kebenaran, kejujuran dan keikhlasan, kualitas hubungan, partisipasi, mendengarkan, kejujuran, feedback, pembaharuan dan perubahan (Said Munji : 2008). Prinsip kebenaran hanya disandarkan pada agama, karena kebenaran sejati hanyalah milik Allah SWT, sedangkan kebenaran manusia bersifat subyektif. Sebagai pelayan pemimpin harus memiliki kejujuran dan keikhlasan, karena kejujuran dan keikhlasan bersifat default (bagian dari hati nurani). Untuk menjdi pemimpin yang jujur dan ikhlas tidak memerlukan upaya ekstra, tetapi cukup hidup apa adanya, sedangkan untuk berbohong, menjadi orang curang perlu banyak berbuat lebih dan cari alasan pembenar. Dari sini seorang pemimpin bisa belajar, bahwa menjadi orang jujur dan ikhlas lebih mudah dari pada untuk menjadi orang curang. Manusia perlu belajar meningkatkan kualitas hubungan antar sesama dalam kominikasi, dengan cara saling menerima satu sama lain apa adanya, saling menghargai keberadaan dan kehadiran masing-masing, dan saling menyapa dengan bahasa yang menyenangkan, karena sejatinya hasil komunikasi ditentukan oleh kualitas komponen dan kualitas hubungan antar komponen. Dalam berpartisipasi dalam sebuah komunitas organisasi, perlu adanya partisipasi komunikatif secara optimal, sedangkan untuk bisa memahami karakteristik komunitas (to be undershood) maka terlebih dahulu yang harus dilakukan adalah bagaimana caranya bisa memahami komunitas itu (to understand). Agar esensi proses yang self generating dapat terwujud, perlu partisipasi dari setiap anggota yang meliputi, penyampaian ide sendiri (inqity and advocaty), mendengarkan ide orang lain (pay attention to) dengan bermodalkan kebenaran, kejujuran dan keikhlasan.
Bagi pimpinan, untuk bisa memahami (to understand) apa yang disampaikan orang lain, perlu belajar meningkatkan kemampuan mendengarkan dengan cara, mengosongkan diri, memperhatikan, penuh empati, menunda reaksi dan tidak memberikan penilaian. Dalam kepemimpinan yang sangat perlu diperhatikan adalah timbulnya ketidaksejajaran dalam komunikasi, karena ketidaksejajaran merupakan hambatan komunikasi, karenanya agar partisipasi dan komunikasi bisa berjalan optimal, harus diupayakan peniadaan hirarki (designed structure) dan setiap anggota diposisikan sejajar (emergent structure). Fungsi dari feedback dalam praktik kepemimpian adalah, sebagai cermin dari saling mau menerima keadaan, indikasi bahwa orang lain mendengar apa yang telah disampaikan, merupakan komponen integral dalam proses komunikasi, sebagai input perbaikan diri, orang lain dan organisasi, serta sebagai cara menemukan kebenaran subyektif. Dalam kepemimpinan transformatif, partsispasi dalam komunikasi bisa dikatakan optimal apabila ada indikasi, setiap orang telah merasa terpenuhi kebutuhannya (needs), kemauannya (wants), dan permintaannya (demand/renewal). Selanjutnya secara keseluruhan (organisasi) telah merasakan adanya perubahan baru (structural coupling).
Kepemimpinan merupakan suatu amanat, bukan kekuasaan yang harus dikejar, namun ketika seseorang diberi tanggung jawab, maka ia tidak diperkenankan menolak tanggung jawab itu. Abu Yusuf dalam Mukaddimah kitab Al Kharraj pernah menulis kata-kata yang ditujukan kepada Harun Al Rasyid, khalifah ketika itu, sebagai berikut : “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Allah SWT telah menyerahkan urusan besar kepadamu, yaitu urusan yang pahalanya sangat besar dan siksanya amat pedih, Allah SWT telah mempercayakan kepemimpinan umat ini kepadamu, siang dan malam kamu bekerja untuk orang banyak, Allah SWT telah memilih kamu untuk memimpin mereka, Allah SWT telah menguji kamu dengan memberikan kekuasaan kepadamu untuk memegang urusan mereka. Ketahuilah, bahwa suatu bangunan tidak akan berdiri tegak dan kokoh di atas tiang-tiangnya jika tiang-tiang itu tidak didirikan di atas pondasi keimanan dan ketakwaan, bangunan itu pasti akan runtuh menimpa pendirinya. Maka, waspadalah dan janganlah kamu kelak bertemu dengan Tuhanmu, sedang kamu berjalan di atas orang-orang yang melampau batas. Sesungguhnya nilai keagamaan seseorang di hari pembalaan ditentukan oleh prestasi amalnya, bukan kedudukan dan jabatannya. Allah SWT sudah memperingatkanmu, maka waspadalah kamu. Kamu tidak diciptakan oleh-Nya sia-sia dan terlupakan begitu saja. Allah SWT akan meminta pertanggungjawabanmu tentang apa yang kamu kerjakan dan segala sesuatu yang kamu terlibat di dalamnya. Maka renungkanlah, dan apa jawabmu? Apakah kamu sudah membaca? Apakah kamu sudah mengerti? Apakah kalimat ini tidak berarti? Dan apakah kalimat ini bermakna merestui kehinaan dan kerendahan? Kepemimpinan adalah sebuah peran dan proses untuk memperbaiki diri dan mempengaruhi orang lain, namun untuk memberikan nafas (ruh) kepada kehidupan yang saling percaya dan adil itu tentu tidak mudah, karena secara esensial dibutuhkan niat bersama untuk lebih mengutamakan kepentingan bersama dari pada kepentingan kelompok dan golongan. Covey (1999) menekankan bahwa untuk membangun organisasi yang kokoh diperlukan keinginan yang kuat untuk mengembalikan kehidupan organisasi pada bentuk one heart one mind. Selain itu diperlukan langkah-langkah strategis yang dapat dijadikan landasan bagi berlangsungnya perubahan tata sosial (soscial transformation) masyarakat secara terbuka, selain strategi penerapan hukum secara adil dan berwibawa, perlu pula diperhatikan strategi untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap kredibiltas pemimpin yang telah terpuruk di mata mereka (publik). Rasulullah SAW pernah bersabda : “Tiadalah seseorang diangkat oleh Allah SWT pemimpin lalu ia wafat dan pada saat kematiannya ia menipu rakyatnya, melainkan Allah SWT mengharamkan baginya surga”. (H.R. Bukhari).

D. Pemimpin Ideal Peradilan Agama
Dalam menentukan kepemimpinan di lembaga peradilan, Mahkamah Agung R.I. telah memberikan cetak biru (blueprint) beberapa kriteria materiil yang harus dijadikan dasar, yaitu :
1. Pemimpin yang benar-benar mencintai pengadilan, baik sebagai korps maupun sebagai unsur penyelenggara negara;
2. Pemimpin yang memahami tempat berlabuh pengadilan sebagai penegak hukum di tengah-tengah hubungan kenegaraan dan sosial yang makin kompleks dan belum menemukan bentuk yang mapan;
3. Pemimpin yang mempunyai kepribadian dan wawasan yang luas dan disertai pengetahuan yang cukup sebagai nakhoda badan peradilan;
4. Pemimpin yang benar-benar dapat menjadi bapak yang berani melindungi warga pengadilan yang benar, dan berani menghukum warga pengadilan yang salah;
5. Pemimpin yang suka mendengarkan sebelum menetapkan kebijakan atau suatu tindakan;
6. Pemimpin yang dapat menjadi pemandu yang arif dalam menghadapi berbagai persoalan, tanpa kebimbangan dan ragu;
7. Pemimpin yang berusaha untuk menciptakan suasana gembira, optimistis dalam melaksanakan tugas, dan keteguhan menghadapi segala terpaan. (Varia Peradilan No. 263, Oktober 2007).
Dalam kepemimpian peradilan perlu dikembangkan corak kepemimpinan tranformatif. Kepemimpinan transformasional mengarahkan aktifitas untuk mencapai sasaran visi bersama yang visioner. Pola kepemimpinan ini mempunyai karakteristik yang sejalan dengan pola kerja kepemimpinan yang berjalan di lingkungan badan peradilan yang selalu berorientasi pada stimulasi intelektual dan selalu siap merubah status quo menjadi curren system yang menekankan prinsip bahwa hakim adalah pelayan keadilan. Titik sentral kepemimpinan badan peradilan adalah pada perubahan sikap mental dari kepemimpinan tertinggi hingga ke bawah pada kepemimpinan status quo menjadi kepemimpinan stimulasi intelektual dan motivasi inspirasional (A. Gani : 2008). Dalam hal kepemimpinan tranformasional peradilan, selanjutnya Abdul Gani Abdullah menyatakan, Hakim harus menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri dalam hal sebagai berikut :
1. Hakim membuat keputusan atas rasa keadilan dirinya sendiri, tanpa intervensi manapun dan apapun dari luar dirinya;
2. Hakim mempertanggungjawabkan hasil keputusannya langsung kepada Tuhan Yang Maha Esa;
3. Hakim memutuskan berdasarkan intelgensi dan hatinuraninya mengenai hukum mana yang paling tepat diterapkan untuk memutus suatu perkara;
4. Hakim harus mencari dan menggali sumber-sumber hukum dalam hal hukum positif tidak mengatur/tidak jelas/tidak adanya hukum terkait dengan perkara yang sedang ditanganinya;
5. Dalam hal point 4 tidak ada, hakim harus mengambil putusan atas dasar intelgensia dan keyakinannya;
Maka dalam hal ini, sangatlah sulit untuk terjadi proese-proses sebagaimana tersebut jika dalam diri seorang hakim tidak tumbuh kepemimpinan terutama kepemimpinan yang memiliki stimulus intelektual. Kepemimpinan transformasilonal memiliki sisi sangat penting bagi pemahaman hukum yang tidak diterima, apalagi hukum yang mengalami dinamika internal dan eksternal. Pemimpin pengadilan harus mampu memberikan rangsangan intelektual di dalam merespon dinamika seiring dengan dinamika faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan. Ciri ini bukan saja diperlukan, akan tetapi harus diaplikasikan pada semua aparatur peradilan, terutama pimpinan dan hakim. Jika unsur-unsur dari kepemimpian transformatif dapat terwujud, akan kurang idel jika kepemimpinan peradilan tidak dibalut (bercorak) keteladanan, terutma dalam hal penegakkan hukum dan keadilan. Tanpa keteladanan itu, transformasi yang berkembang dalam masyarakat akan sulit disikapi. Rasulullah SAW berulangkali menegaskan bahwa baliau tidak akan melarang suatu perbuatan sebelum beliau sendiri yang pertama mematuhinya. Sebaliknya, beliau juga tidak menyuruh umatnya melakukan suatu kebijakan sebelum beliau melakukannya.
Dalam kaitan ini, ada kisah menarik yang patut disimak. Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khaththab, ada seorang raja dari sebuah negara kecil di Syam (Syria) yang baru masuk Islam, namanya Jablah bin Ahmad Ghasani. Suatu saat, ketika ia tengah menunaikan ibadah haji, ujung jubahnya terinjak dengan tidak sengaja oleh seorang Arab miskin. Dalam amarahnya, Jablah menampar orang tersebut, tapi si miskin balik menamparnya. Jablah lalu menemui Umar dan mendesaknya agar menghukum rakyat kecil itu. Namun, di luar dugaannya, sang Khalifah justru menyatakan bahwa Jablah telah menerima balasan dari perbuatannya. Tentu saja, dia tidak bisa menerima pernyataan khalifah itu. "Kalaulah dia melakukan penghinaan ini di negeri saya, dia telah saya gantung”. ujarnya. "Itulah praktik di sini sebelum Islam'', jawab Khalifah Umar. "Tetapi, sekarang, orang miskin dan putra mahkota diperlakukan sama di hadapan Islam. Dalam menegakkan hukum, Islam tidak mengenal perbedaan antara yang miskin dan kaya”. tegas Umar. Prinsip keadilan dan persamaan di hadapan hukum (equality be for of the law) itu pula yang selalu ditekankan empat Khulafaur Rasyidin ketika memilih seorang gubernur. "Tegakkanlah keadilan dalam pemerintahan dan dalam diri Anda sendiri”. kata Khalifah Ali bin Abi Thalib kepada Malik Asytar ketika menunjuknya sebagai gubernur di Mesir. "Lindungilah hak-hak rakyat. Janganlah hanya karena segelintir orang, Anda mengorbankan kepentingan mereka”. tegas Khalifah Ali. Dengan demikian, jelaslah bahwa keteladanan dan kewajiban menegakkan keadilan tidak dapat ditawar-tawar lagi. Karena, ia merupakan amanah Allah dan sendi pokok dari kewibawaan pemimpin. Menurut pendapat sejumlah pakar hukum, apabila keadilan diabaikan, pasti itu akan menimbulkan reaksi, bukan saja dari mereka yang menjadi korban ketidakadilan itu, tapi juga dari masyarakat luas yang mendambakan terciptanya tatanan masyarakat ideal.
Untuk mendapatkan derajat tertinggi dalam hal keteladanan, Allah SWT mengajarkan kepada hamba-Nya untuk senantiasa berdo’ah : “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri dan keturunan yang menjadi penenang hati bagi kami, dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa”. (Q.S. Al Furqan : 74). Seorang mufassir memberikan penjelasan atas lafal “qurrata a’yun” (penenang hati) mengatakan, jika seseorang memiliki isteri yang berkumpul padanya sifat-sifat terpuji, seperti pandai menjaga kesucian, lembut, taat kepada suami, atau mempunyai anak yang taat kepada Allah dan berbakti kepada orang tuanya, maka dalam hatinya tidak akan tertarik lagi untuk melirik wanita atau anak orang lain. Adapun maksud dari lafal “lil muttaqiina imama” (pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa) adalah, menjadi teladan bagi mereka dalam hal kebaikan. Seseorang tidak akan bisa menjadi teladan yang baik bagi orang lain, kecuali ia telah berbuat baik kepada orang lain dan senantiasa bertakwa kepada Allah SWT.

E. Penutup
Keberadaan kepemimpinan adalah sangat penting, karena kepemimpinan memiliki dua tujuan, yaitu sebagai pengganti misi kenabian untuk menjaga agama (likhilafati an-Nabawiyah fii Harasati ad-Din) dan untuk mengatur urusan keduniaan (wa Siyasati ad-Dunya). Semua kita adalah pemimpin yang bisa saja lahir dan berkembang secara alamiah, namun harus disadari bahwa setiap kepemimpinan akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah SWT. Kepemimpinan adalah amanah. Rasulullah SAW pernah bersabda, “Apabila amanah disia-siakan maka tunggulah saat kehancuran. Waktu itu ada seorang sahabat yang bertanya : Apa indikasi menyia-nyiakan amanah itu wahai Rasulullah ? Beliau menjawab : “Apabila suatu perkara diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya”. (H.R. Bukhari). Karenanya pemimpin harus melaksanakan amanah kepemimpanannya dengan penuh tanggung jawab sehingga kepemimpinannya dapat dirasakan sebagai kemanfaatan dan kemaslahatan bagi massanya. Allhu A’lamu bil Shawab.

Siap

Siap