Sabtu, 04 Juni 2011
Bercermin pada Mutu Pendidikan India
Permasalahan pendidikan di hampir semua negara berkembang umumnya sama, mulai dari persoalan biaya sekolah, buta huruf, putus sekolah, kurikulum hingga anggaran pendidikan. Akan tetapi, semua bisa berubah asalkan pemerintah dan semua unsur terkait berkomitmen kuat untuk memajukan pendidikan di negara mereka masing-masing.
Tengok saja pendidikan di India. Secara fisik, bangunan maupun infrastruktur pendidikan tinggi di negeri itu sungguh memprihatinkan. Bangunan kusam, berdebu, terkesan semrawut. Juga sering kita temui tumpukan sampah atau puing berserakan di pinggir jalan atau gang. Tapi jangan ditanya soal mutu pendidikan tinggi negara berpenduduk hampir 1,2 miliar ini. Banyak perguruan tinggi di India sudah memiliki reputasi internasional, tidak kalah dengan perguruan tinggi di Australia, Inggris, maupun Amerika Serikat (AS). Beberapa bidang yang menonjol a.l. kedokteran, teknologi informasi (TI), teknik dan manajemen.
Beberapa institut di sana sudah menerapkan kurikulum dan metode proses belajar mengajar seperti halnya model Harvard. Banyak pula lulusan perguruan tinggi dari India laku keras di beberapa negara Eropa maupun AS. Perusahaan sekaliber Microsoft sendiri sudah percaya dan banyak memakai lulusan perguruan tinggi dari India. Banyak dokter bekerja di berbagai belahan dunia seperti AS dan Inggris. Begitu juga ahli teknik banyak tersebar di berbagai negara asing. Di Kota Dubai atau Singapura banyak pula dijumpai lulusan perguruan tinggi dari India, dan ada ilmuwan maupun dosen yang mengajar di berbagai negara maju.
Kita masih ingat beberapa ilmuwan terkenal seperti pemenang nobel bidang ekonomi Amartya Sen. Demikian juga bidang fisika yaitu Subrawanian dan Cancrashekar Venkantaraman, di bidang kedokteran kita kenal Hargobind Khorana. Bidang sastra, Rabindranath Tagore. Dan tidak lupa pemenang Nobel Perdamaian Bunda Theresa.
Biaya murah
Pendidikan tinggi di India relatif murah. Untuk mengambil master ilmu sosial misalnya, hanya butuh 30.000 rupees per tahun (sekitar Rp6 juta-an). Faktor pendukung lainnya adalah penerapan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di hampir seluruh perguruan tinggi di India. Hal ini juga punya andil dalam peningkatan mutu perguruan tinggi di negeri Mahatma Gandhi ini. Maka tidak heran lulusannya pun sudah tidak canggung lagi masuk ke pasar global.
Pada intinya, India lebih mementingkan isi (content) dibandingkan penampilan dan performa sebuah perguruan tinggi. Rata-rata dosen mereka sudah menyandang doktor. Banyak dari mereka merupakan lulusan AS dan Eropa. Jarang kita temui seorang profesor mewakilkan kepada asistennya untuk mengajar, mereka benar-benar profesional. Akses dengan dosen juga sangat mudah. Jarang kita temui dosen yang ngobjek ke sana kemari. Perpustakaan lengkap, banyak hasil riset, buku murah, dan metode dialogis merupakan metode yang jamak diterapkan di sana.
Mahasiswa di sana sudah terbiasa berkompetisi. Kondisi pendidikan di India sangat jauh berbeda dengan kampus-kampus di Tanah Air. Kampus yang berdiri megah yang terkadang full AC, dengan tempat parkir yang luas dan sederet mobil kinclong, ditambah dengan aroma mahasiswa yang bergaya metropolis. Tapi fasilitas fisik yang mentereng itu tidak diimbangi dengan mutu yang memuaskan. Lalu, apa yang salah dalam sistem pendidikan kita?
Kita cenderung lebih mementingkan penampilan daripada isi. Ini berbeda 180 derajat dengan India yang justru lebih mementingkan isi daripada penampilan. Jika kita analogikan sebagai sebuah rumah, sudah saatnya Indonesia melengkapi perabot atau isi rumah ketimbang disibukkan dengan pengecatan penampilan rumah itu sendiri. Sebenarnya pemerintah telah bertekad untuk meningkatkan mutu pendidikan dan menyejajarkannya dengan negara lain. Itu bisa dibuktikan dengan peningkatan anggaran pendidikan dalam APBN, yang untuk tahun ini mencapai Rp44 triliun. Akan tetapi, peningkatan anggaran pendidikan tersebut tidak diikuti dengan kesiapan dunia pendidikan itu sendiri. Apalagi birokrat pendidikan kita tidak bisa mengoptimalkannya, asal sekadar habis anggaran.
Perbaiki diri
Sudah saatnya Indonesia melakukan langkah nyata dalam menghadapi era pendidikan bertaraf global guna menutup ketertinggalan. Perlu dikaji penerapan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di perguruan tinggi kita. Berapa banyak lulusan kita yang pintar, namun lemah dalam penguasaan bahasa asing, khususnya Inggris. Meski demikian, kita tidak perlu meninggalkan bahasa Indonesia sebagai bahasa patriotik kita. Tidak heran jika banyak orang tua yang lebih suka menyekolahkan anak-anaknya ke luar negeri. Masalah mendasar pendidikan kita adalah inkonsistensi antara perencanaan dan pelaksanaan di lapangan. Pemerintah seharusnya benar-benar berkomitmen untuk membawa dunia pendidikan kita lebih maju dengan mengerahkan segala potensinya, di mana salah satunya bisa diukur dari peningkatan anggaran tadi. Mutu pendidikan yang berkelanjutan harus terus ditingkatkan seiring dinamika dan perubahan eksternal serta cepatnya tuntutan kebutuhan dunia usaha. Bongkar pasang kurikulum, sasaran, metode karena pergantian menteri mestinya tidak terjadi lagi, sehingga tidak terjadi opportunity lost yang terlalu panjang.
Akhirnya, sudah waktunya pemerintah sebagai regulator beserta segenap elemen masyarakat untuk bahu-membahu, serius dan komitmen tinggi untuk membawa pendidikan kita ke arah yang lebih maju. Untuk mewujudkannya kita harus berani dan mau belajar dari negara mana pun yang lebih maju, termasuk
India tentunya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar